“Ondol-ondoool…….., cuhcuuur……., gegetuuuk…….,”
Penjual makanan itu duduk malu-malu setelah bu mantri , yang punya rumah menyuruhnya naik ke teras. Lalu menyimpan nyiru dengan hati-hati, sebuah tampah yang dibikin dari anyaman bambu.
“Ujang siapa dan dari mana?” tanya bu Jakarya ramah, matanya menatap lekat dua sosok itu bergantian, sampai mukanya miring-miring, “Sepertinya baru sekarang ibu melihat kalian berdua.”
Kedua anak umur sepuluh tahunan itu saling pandang tanpa komando. Dan tanpa komando juga mereka menjawab bersamaan.
“Saya Dodo, Juragan...”
“Saya Ujang.”
Bu Jakarya tertawa, “Ooh begitu. Dari mana kalian?”
“Saya pengungsi dari Bandung.” Kali ini Dodo yang menjawab.
“Terus makanan ini siapa yang buat?”
“Ibu, bibi, semuanya, Juragan.”
“Oh, terus kalian tinggal di mana?”
“Di sana, Juragan. Di...”
“Eh Dodo dengan Ujang... tidak usah memanggil Ibu juragan ya. Panggil saja ibu ini bu mantri. Biasanya Ibu dipanggil begitu oleh orang-orang sini.”
Dua anak laki-laki itu saling pandang lagi. Lalu salah satu, Dodo mengangguk. Anggukan itu diikuti oleh Ujang.
“Lho, kalian berdua kan keponakannya Harun, ya?” tiba-tiba sebuah suara muncul di pintu seiring kehadiran sosok laki-laki muda dengan sebuah buku di tangannya. Raut mukanya begitu ramah. Kedua bola matanya menyelidik. Ada sesuatu yang ingin diucapkan. Namun begitu melihat wanita di dekatnya, mulutnya terkatup lagi. Hanya tarikan napas tersisa. Sikap itu membuat perempuan berkebaya rapi dengan perawakan tinggi itu mendadak memberenggut. Perhatiannya beralih pada laki-laki muda di dekatnya, Permana. Wajah bu Jakarya alias bu mantri nampak semakin bingung manakala melihat kedua anak itu juga mengangguk.
“Siapa itu Harun?”
“Itu Bu, teman seperjuangan saya.”
“Oya? Rasanya Ibu belum pernah mendengarnya?”
“Sudah lama beliau tidak terjun ke medan perang Bu...”
“Baiklah, lalu mengapa kalian jadi berjualan begini?”
“Mungkin mereka mengisi waktu saja, Bu,” Permana membantu menjawab pertanyaan yang sudah tentu sulit dijawab oleh dua bocah di depan mereka.
Bu mantri manggut-manggut tersenyum. “Baguslah kalau begitu, cuhcurnya juga kelihatan enak ini,” bu mantri mengambil beberapa, lalu dibungkuskan ke dalam daun pisang yang sudah tersedia. “Sejak Nipon datang, kita tidak pernah makan makanan begini.”
“Sudah ya Jang, ibu beli segini. Mudah-mudahan makanannya laku habis.”
Kedua anak itu mengangguk, lalu menerima uang.
“Jang, salam untuk Teteh Kinasih, ya,” Permana mendekat, berbisik. Sepertinya kalimat itu mengalir begitu saja. Sampai dia sendiri mendadak mengatup bibirnya kembali, lalu melihat sesaat wajah wanita yang mulai menyelidiki gerak-geriknya. Kali itu bu mantri menarik napas lelah. Lalu geleng kepala. Entah apa yang dipikirkannya.
Setelah dua anak itu berlalu, bu mantri mengalihkan perhatiannya pada pemuda yang hanya mendehem, senyum-senyum. Namun bu mantri menampakan muka yang serius. Matanya lekat pada wajah yang mulai berusaha menghindari matanya,
“Siapa itu Kinasih?”
Permana masih senyum-senyum, “Bercanda Ibu...”
“Apa?” mata bu mantri kian lekat.
“Itu Bu, keponakan Harun.” Suara Permana diakhiri dengan isyarat menjulurkan jempol tangan kanannya. Apa boleh buat, pikirnya. Sudah telanjur tertangkap basah. Mau gimana lagi. Hatinya memang sudah tak bisa dikontrol lagi sejak pertemuan kemarin. Bahkan seharian kemarin, sejak pulang dari tempat Harun, wajah gadis itu terus mengganggu pikirannya.
Bu mantri menepuk bahu Permana, “Tidak baik laki-laki dewasa sepertimu mengirimkan salam. Kalau berani datangi saja. Tapi itu pun harus sudah jelas pilihanmu. Bukan main-main. Ingat, semua gadis di dunia ini ada pemiliknya, bukan mainan.”
Permana tersenyum, “Tenanglah Bu, ini baru pendekatan.”
Bu mantri terdiam. Lalu berlalu ke dapur.
Ada kasak-kusuk di sana. Memang, sejak dapur itu penuh dengan para perempuan, suasana di sana jadi berbeda. Diantaranya sepupu suaminya yang mengungsi dari Cimahi. Ada Rukiah, sepupu bu mantri yang sudah punya anak gadis, bernama Tuti. Ada juga tetangga yang suka main-main. Termasuk Nyi Erah, janda dengan anaknya, Mimin. Mimin seumur dengan Tuti. Keduanya datang dari Cililin untuk minta jadi pembantu. Bu mantri menyebutnya rencang.
“Tah tah, tadi Cep Permana salam sama siapa?”
“Kinasih, ya Kinasih. Apa Cicih gitu…?”
“Iya pokoknya asih, ada sih sih, nya. Wah siapa itu ya?”
“Lho, lalu, bukannya, katanya tadi malam cep Permana melototi Nyai Desima itu. Terus cep Permana sukanya sama siapa ya?”
“Deuh, bagja , jadi Nyai Desima itu…”
“Ih, tapi kalau cep Permana salam sama siapa itu, Cicih itu, buat apa? Berarti cep Permana itu….”
“Iya ya, berarti cep Permana suka sama yang lain juga ya? Ah, dasar lalaki!”
“Apalagi cep Permana, sudah gagah, cakep, pintar, baik lagi.”
“Tapi ya kok nakal?”
“Ya itu, nakalnya itu, masa suka sama lebih dari satu perempuan.”
“Lho, kok kamu yang sewot, Tut?”
“Eh, tahu tidak? Tadi malam cep Permana langsung ke belakang layar. Sepertinya mencari Nyai Desima itu. Gitu tuh laki-laki kalau sudah kena pelet.”
“Wah, jangan-jangan kamu juga naksir cep Permana itu. Semalam bukannya nonton? Kenapa matamu jadi nguntit cep Permana?”
“Ya, tidak mungkin atuh Neng, saya hanya anak rencang di sini, itu namanya calutak, tidak tahu diri.”
“Makanya, ya biar saja atuh, Nyi. Tidak mungkin cep Permana diam kalau Nyai Desima itu memang cantik.”
“Tapi memang betul, Nyai Dasima itu cuantiiik, sekali. Matanya bulat, hidungnya bangir, bibirnya tipis, dan kulitnya itu lho, bersih. Pasti sudah jadi bentang dia sekarang.”
“Iya, dia memang cantik di panggung. Tapi kalau di luar panggung, tetap saja anak wayang. Tidak ada bedanya dengan penari ronggeng atau tukang ketuk tilu yang semalam berjoget dengan laki-laki nakal.”
Mendadak suasana diam. Ketika itu langsung masuk bu mantri.
“Kalian ini sedang ngomong apa sih? Perempuan kalau berkumpul, dua orang jadi terdengar lima orang. Nah lima orang, jadi seperti sepuluh orang. Tadi apa anak wayang?”
“Tidak ada apa-apa, Ceu mantri. Itu mojang-mojang pada ribut, katanya ada pemain sandiwara yang cantik. Mungkin mereka merasa tersaingi.”
Tuti mendelik, “Ih, tidak mungkin atuh kita merasa tersaingi, Wa.”
“Ya tidak apa-apa. Kalau melihat orang cantik biasanya kita terilhami untuk bisa ikut menjadi cantik.”
“Tapi kan anak wayang.”
“Nah, itu maksud Ua, anak wayang siapa?”
Tuti mencubit Mimin, “Ayo Min, siapa yang jadi anak wayang?”
“Oh eh, tidak ada kok Bu mantri.”
“Jangan bohong.”
“Itu Bu mantri, Nyai Dasima.”
“Lho, itu kan tokoh cerita yang saya sukai Min? Kalian tahu dari mana?”
“Kan semalam lihat pertunjukannya di tanjakan Sengkun.di Gedung Oryon.”
“Nyai Dasima? Pertunjukan apa itu?”
“Itu Ceu,” Rukiah yang masih duduk-duduk santai menimpali, “Gadis-gadis ini sedang membicarakan Nyai Dasima, pemain sandiwara Harmonie yang juga ikut mengungsi dari Bandung.”
Bu mantri manggut-manggut, “Lalu apa hubungannya dengan Permana?”
“Kang Permana seperti tertarik dengan tokoh itu, Wa. Matanya melotot terus, hekhekhek.” Tuti menyikut Mimin yang sedang memarut kelapa.
Bu mantri terdiam. Menarik napas panjang. Wajahnya berubah serius.
“Tadi Permana juga bicara begitu,” tapi suara bu mantri tidak berlanjut. Memang tidak biasa bu mantri ikut kasak-kusuk di dapur. Maka ia lebih memilih membalikkan kembali badan. Lalu beranjak lagi ke dalam setelah menyimpan ondol-ondol dan cuhcur di atas meja. Semua saling pandang.
“Hayo, ceu mantri marah tuh. Makanya hati-hati kalau bicara,” mata Rukiah menonjok anak perempuannya.
Wajah Tuti ketakutan. Semua bungkam. Asap mengepul dari tungku yang di atasnya terjerang air. Nyi Erah menyiapkan beras ketan di dalam baskom. Tak ada suara lagi.
Ruang depan yang orang Sunda menyebutnya tepas, nampak sepi. Berbeda sekali dengan suasana di dapur. Di ruang ini hanya tampak empat kursi talapok kuda yang berhadapan satu sama lain. Di tengahnya berdiri kokoh meja bundar marmer dengan jambangan berisi bunga hidup. Ada dahlia, ros, juga tangkap-tangkai anggrek tanah berwarna ungu. Angin lembut menyapu sepi melalui jendela-jendela kaca yang sengaja dibuka. Meruap aroma bunga cempaka yang tengah mekar-mekarnya dari halaman depan.
Ketika itu muncul Permana dan meletakkan buku yang sejak tadi ada dalam genggamannya. Sekarang dia mengambil sebuah surat kabar di bawah meja lalu meletakkan tubuhnya dengan santai. Udara dihirupnya dalam-dalam.
Tak lama kemudian bu mantri muncul dan turut duduk di dekatnya.
“Bu, tidak sholat Dhuha?”
“Sebentar lagi,” bu mantri malah melihat wajah Permana dengan serius.
“Ada apa Bu?”
Ada napas yang panjang di wajah perempuan berkebaya ini, “Ibu ingin tanya sesuatu sama Permana.”
“Tanya apa Bu? Serius sekali. Pasti soal yang tadi, ya?”
Bu mantri terdiam.
“Tenanglah Bu, di zaman perang begini, urusan laki-laki adalah berjuang.”
“Ibu mengerti, tapi tampaknya kamu sudah mulai serius dengan hal yang lain.”
“Maksud Ibu? Apakah ada hubungannya dengan perempuan?”
Bu mantri kian lekat tatapannya, “Kamu ini, apa memang jaman mengajarkanmu demikian? Dari tadi malah kamu yang banyak nanya...”
“Maaf, maaf Permana Bu...”
“Dengarkanlah dulu..”
Akhirnya Permana terdiam. Lebih tepatnya menunduk. Adat mendengarkan memang mulai luntur sekarang ini. Mungkin itu pengaruh arena perang yang menuntut setiap manusia menanggapi cepat dalam menghadapi musuh. Ah, sebenarnya kenyataannya tidak demikian. Kedatangan musuh juga harus diamati dulu dengan taktik dan trik yang tepat. Tidak asal serang seruduk.
“Permana, suara ibu bisa kau dengarkan?”
“Iya Bu...”
“Wajahmu malah bengong begitu..”
“Iya maaf Bu...”
“Ibu mulai dengar kasak-kusuk tentang Permana. Tapi itu Ibu suka. Hanya … asalkan jangan salah pilih saja, ya Permana. Di mana pun seorang Ibu ingin anaknya bahagia. Ingat, kakak-kakakmu semua telah berhasil hidup di perkebunan sana. Semua karena tidak sembarangan dalam menentukan hidup dan memilih pasangannya.”
Suasana diam. Permana menunduk.
“Nah sekarang, ayo giliranmu bicara...”
Permana berpikir sesaat, ditatapnya bunga dalam jambangan. Ah, sialan, dalam kelopak itu tersenyum wajah Kinasih.
“Ayo,” ujar bu mantri.
Permana tersentak.
“Apa yang kamu pikirkan?”
“Permana Cuma mau katakan, Ibu tenang saja, Permana paham apa yang diinginkan oleh seorang Ibu. Permana paham setiap keinginan wanita di dunia ini, terutama wanita yang sudah mempunyai anak laki-laki bujang.”
“Kamu selalu begitu. Paling pintar berdiplomasi dengan orang tua. Mestinya kamu ikut berunding dengan Walanda itu ketimbang bertempur dan bertempur.”
Permana mengusap wajahnya, lalu tersenyum.
“Kenapa Kamu tidak tertarik dengan Bapak di Masyumi ?”
“Lho, kok Ibu tanya itu lagi?”
“Karena Ibu tahu, pertempuran bukan satu-satunya tempatmu.”
“Pertempuran melahirkan karya Bu. Ada dua pilihan dalam bertempur. Pertama gugur sebagai syuhada. Kedua, hidup terus dan menjadikan pengalaman bertempur sebagai ide untuk menghasilkan karya besar.”
Bu mantri terdiam sesaat, “Sudah pernah dekat dengan wanita?”
“Teman Permana banyak Bu, laskar-laskar perempuan, para perawat.”
“Ambillah salah satu yang paling cocok.”
Sesaat Permana berpikir, “Tidak ada yang cocok, Bu.”
Bu mantri melenguh, tatapannya lurus ke luar melalui pintu tepas yang masih terbuka. Semilir angin menggoyangkan gorden tipis warna gading tulang dan merebakkan wangi sabun cuci yang baru dikenal ibu-ibu kampung ini. Pasti Tuti banyak sekali menghabiskan sabun untuk mencuci gorden ini.
“Ibu dengar ada pertunjukan sandiwara tadi malam?” mata bu mantri masih lurus ke luar. Menatap matahari yang mulai naik hampir seperempat langit.
“Oya, betul Bu. Namanya kelompok sandiwara Harmonie. Nah, Harun yang saya maksud tadi adalah pimpinan Harmonie itu. Sebelumnya, dia juga selalu turun ke medan pertempuran Bu, termasuk kakaknya yang gugur pada waktu perang Desember tahun kemarin.”
Bu mantri mulai menatap Permana penuh selidik, “Terus mengapa temanmu itu jadi pemimpin sandiwara?”
Permana terdiam sesaat. Menarik napas panjang, “Ya, dulu, Harun seorang pejuang yang selalu siap di garis depan. Harun itu sahabat yang paling dekat dengan saya Bu. Tapi nasibnya kurang menguntungkan. Ketika perang melawan Belanda November lalu, sebulan sebelum kakaknya meninggal, kedua kakinya tertembak peluru tentara Gurkha. Tapi semangat perjuangannya sangat tinggi. Lalu dia meneruskan perjuangan abangnya di kelompok sandiwara. Selain pejuang, Harun itu penulis naskah dan sutradara yang hebat, Bu. Hanya saja waktunya banyak dibagi dengan pertempuran. Permana pernah menyarankan agar dia hijrah ke Jakarta dan bergabung dengan Keimin Bunka Sidosho . Apalagi zaman Jepang betul-betul menjadikan seni pertunjukan sebagai alat propaganda. Tapi dia tidak mau.”
Bu mantri terdiam. Nafasnya berat. Seperti hendak mengungkapkan sesuatu, tapi sulit.
“Oya Bu, pertunjukan Harmonie tadi malam, luar biasa.”
Bu mantri menatap wajah di hadapannya, “Kok Ibu tidak tahu kalau kamu ke sana? Padahal kalau Apa tahu, pasti beliau tidak akan suka. Itu kan tontonan, Nak. Kurang sedap untuk keluarga kita. Ingat, Apamu pimpinan organisasi Islam, masa putranya hadir di tempat seperti itu. Kakak-kakakmu tidak ada yang pernah menonton pertunjukan begitu.”
“Maaf Bu, ini berbeda. Saya menganggap kehadiran saya di sana sebagai sambutan tuan rumah kepada sahabat lama.”
Bu mantri kembali terdiam. Pembicaraan tentang Nyai Dasima di dapur itu tak ingin dibukanya. Lebih baik tidak tahu baginya. Lalu bangkit tanpa kata.
“Ibu mau sholat?”
“Iya. Sebaiknya kamu juga. Supaya jadi terang pikiranmu.”
Permana garuk-garuk kepala hingga ibunya hilang ditelan pintu kamar. Lalu dia mengambil koran-koran lama di bawah meja. Membuka-bukanya. Lalu menutup lagi. Beritanya tetap yang itu-itu juga. Seperti berdirinya Persatuan Wartawan Indonesia dalam kongres Wartawan di Solo, 9 Februari lalu. Menyusul berdirinya Kongres Wanita Indonesia melalui Konferensi di Solo tanggal 24-26 di bulan yang sama. Mengapa selalu Solo? Mengapa tidak Bandung? Kota Solo sepertinya lebih aman dibandingkan kota Bandung. Simak saja berita di koran yang lainnya. Betapa Bandung menjadi kota yang tidak kenal lelah dalam bertempur mengusir tentara NICA. Puncaknya bulan Maret itu. Permana masih ingat penyusupannya bersama pejuang lain ke Baleendah, Dayeuh kolot, hingga tengah-tengah kota, lalu ke Cimareme. Menginap dalam dingin Gunung Masigit . Bahkan ketika selanjutnya menyisir tempat hingga Sukabumi.
Lalu halaman lain memuat berita tentang perundingan di Hoge Veluwe, Belanda tanggal 14-24 April 1946. Sebagai tindak lanjut perundingan-perundingan yang diwakili oleh Sir Archibals Clark dari Inggris. Namun perundingan itu tidak menghasilkan kesepakatan apa-apa. Kecuali Indonesia memiliki kedaulatan atas Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Hal yang membuat keinginan bertempur terus membara. Apalagi melihat tindakan Spoor, Panglima Tentara Belanda yang ngotot ingin mengakhiri kekuatan rakyat Indonesia. Seolah-olah menutup mata bahwa kekuatan pejuang Indonesia lebih dari segalanya.
Permana menutup kembali koran itu. Lalu pandangannya kosong ke depan. Ada wajah yang melintas tiba-tiba. Tapi wajah itu juga segera menghadirkan kebingungan yang aneh. Memberatkan pikirannya lebih dari ketika mengangkat bayonet untuk menusukkannya ke dada musuh. Hal ini karena, di samping wajah itu, tergambar juga wajah ibunya, dengan sorot mata yang tajam. Tak memberi restu.
Dingin dan kabut sudah jadi sahabat karib wilayah ini. Terutama ketika pagi-pagi manakala orang-orang bermunculan dari berbagai sudut menuju sebuah sungai, para perempuan yang hendak mencuci baju. Kejernihan Sungai Catangcengkat menjadi pesona para pencuci pakaian, bahkan hingga mencuci badan sendiri.
Hampir dua minggu tinggal di wilayah Ciwidey cukup bagi Kinasih untuk menyesuaikan keadaan. Misalnya setiap pagi pergi ke sungai itu untuk mencuci. Lalu kembali ke rumah sebelum matahari naik. Di sini agak berbeda. Kehidupannya tidak terlalu terkekang oleh aturan yang ada di kelompok sandiwaranya. Meskipun kebebasannya hanya sebatas mencuci pakaian pagi hari, sebelum orang lain datang ke sungai untuk mencuci.
Berbeda dengan saudara-saudaranya yang sudah berbaur dengan penduduk. Apalagi anak-anak. Malah mereka sering terlihat bergaul dengan para tentara. Terkadang meminjam senjata. Menjadikan ide untuk perang-perangan dengan menggunakan pelepah pisang.
Sering terdengar pembicaraan tentang kedatangan para tentara yang bertubuh tinggi, berhidung ekek, dan berkulit putih. Kadang terdengar pula akan ada serangan dari Belanda. Membuat semua penduduk ketakutan, bahkan ada yang mengungsi ke tempat lain. Tapi kenyataannya tidak terjadi apa-apa.
“Sih, ada naskah baru yang harus kita bicarakan,” Harun mendekati Kinasih yang duduk di ruang depan.
“Apa Mang?”
“Judulnya Roro Mendut.”
“Siapa itu Mang?”
“Gadis cantik, yang diinginkan seorang tumenggung di kerajaan Mataram. Kamu pas sekali dengan peran ini.”
Kinasih termenung, “Mamang dapat ilham dari mana? Kenapa tidak kerajaan yang ada di daerah Sunda saja?”
“Pajajaran maksudmu?”
“Mungkin, saya kan tidak tahu, Mang.”
“Nanti bisa, sekarang ini Mamang sedang terilhami oleh gadis yang sorot matanya tajam tapi teduh seperti kamu Sih.”
“Kok Mamang tahu?”
“Hahaa... itu penafsiran mamang saja. ”
“Tapi perlengkapannya kan memakan biaya Mang. Mamang tahu Babah Bonceng sudah tidak memasok biaya lagi pada perkumpulan kita.”
“Tidak apa-apa, dengan sering manggung kita akan lebih mandiri.”
“Ohya Mang, sebenarnya Babah Bonceng mengungsi ke mana ya?”
“Menurut informasi, banyak etnis Cina yang justru mengungsi ke utara Bandung waktu peristiwa pembakaran kota Bandung itu. Mereka bergabung ke wilayah Sekutu dan Belanda. Malah banyak etnis Cina yang membantu NICA. Tapi Mamang tahu persis, Babah Bonceng masih orang republik.”
“Lalu mengenai pertunjukkan Roro Mendut tadi? Biayanya bagaimana?”
“Ini tidak akan ditampilkan dalam kondisi darurat Sih. Kebetulan Mamang punya naskah baru. Oya Sih, sebenarnya Mamang mau bicara juga. Ada teman Mamang yang siap membantu kalau Roro Mendut dipentaskan.”
Kontan dahi Kinasih berkerut. Di masa sekarang sangat mustahil ada orang yang mau berela hati memberikan bantuan untuk kegiatan seni seperti ini. Yang bahkan biaya pertunjukan kadang tidak sebanding dengan harga tiket masuk, jika pun itu ada tiketnya. Karena seringnya mereka tampil tanpa bayaran. Seperti ketika tampil di Gedung Orion pertama kali.
“Pasti kamu tahu. Dia Permana.”
Entah mengapa, mendengar nama itu dada Kinasih mendadak berdesir. Ini perasaan baru yang mulai mengganggunya sejak kenal dengan laki-laki itu.
“Menurut Asih gimana?” suara Harun mengalir seakan tak paham dengan apa yang dirasa gadis di hadapannya. Karena sejak berhenti bertempur, hanya pertunjukan dan pertunjukan yang ada di kepala mamangnya ini.
Kinasih menelan ludah. Pandangannya lurus ke arah kebun singkong yang tinggal tunggul-tunggulnya. Ada perasaan aneh yang menghinggapinya. Antara keinginan untuk melihat laki-laki itu lagi. Antara keinginan yang takmungkin terwujud. Dekat sekali jaraknya. ketika mendengar nama itu. Kinasih pun tidak tahu mengapa. Beberapa waktu ini, sosok itu seakan membayangi dirinya. Padahal Kinasih tidak pernah memikirkannya.
“Menurut Mamang dia pemuda yang baik. bahkan lebih dari itu.”
Kinasih terdiam.
“Selain orangnya menyenangkan, Permana adalah pemuda yang hebat. Dia pejuang sejati. Berani mengorbankan diri dan jiwanya untuk bangsa ini. Bahkan Mamang sendiri tidak menduga keberaniannya itu. Waktu ada iring-iringan pengiriman pasokan Inggris ke Bandung, sebenarnya dia juga ikut menyusup ke wilayah Sukabumi, wilayah yang sangat jauh dari kesatuannya di Bandung. Dia selalu menjadi pejuang yang berada di garis depan.”
Kinasih menarik nafas lelah. Kenapa mamangnya malah cerita tentang dia. Makin menggununglah rasa tidak tahu diri yang ada dalam hatinya. Karena keinginannya sekarang sudah tak mungkin. Dia harus berkaca pada angin. Yang pasti datangya dan pergi begitu saja. Begitu pun ketika merindu laki-laki, apalagi seorang prajurit di zaman ini. Mencintai adalah sekaligus siap untuk ditinggalkan. Seperti ayahnya sendiri yang pergi berperang tanpa pulang, menyisakan kehilangan.
“Dia juga seorang pemuda yang cerdas. Permana banyak belajar segala tentang perang bahkan ilmu perang. Dia tekuni karya-karya sejarawan tentang perang. Bacaannya banyak, itu yang membuat dia dipercaya untuk maju di medan petempuran. Permana juga pintar mengajak teman-teman di kampung ini untuk terjun ke medan pertempuran. Mamang hanya berkhayal, suatu saat dia jadi keponakan Mamang. Hehehe.”
Kinasih mengalihkan pandangannya. Apa pamannya ini tidak tahu atau pura-pura tidak tahu? Bahwa sebenarnya sampai hari kemarin Permana selalu menyampaikan salamnya lewat Ujang dan Dodo. Hanya Kinasih selalu membuang pemikiran lain tentang pemuda itu. Takut, mengharapkan pemuda itu menjadi bayang-bayang disangka tubuh. Mengharapkan hal yang tidak mungkin. Bukan saja karena Kinasih menyadari siapa dirinya.
“Janganlah Mang. Asih tidak pantas. Asih hanya anak wayang.”
“Sebutan anak wayang itu dulu Sih. Karena kelompoknya ya keturunan para pemain wayang panggung. Nah kalau kita, kita bukan keturunan para pemain wayang. Leluhur kita bukan pemain pertunjukan. Tapi kalaupun iya, memangnya apa yang salah? Anak wayang hanya sebutan orang saja. Kita sama sebagai manusia ciptaan Allah dengan berbagai kekurangan dan kelebihan.”
“Sama saja, Mang.”
“Beda Sih, makanya Mamang berharap Asih mendapat jodoh yang jauh lebih baik dari kita. Mamang tahu, Asih pantas mendapatkannya.”
Kinasih terdiam.
“Sih, jangan berpikir tentang anak wayang lagi. Lagipula menurut mamang, tidak ada yang salah dengan sebutan itu. Anak wayang atau pun bukan, orang-orang dari kalangan ini nyatanya tidak serendah yang dibayangkan. Mereka bisa lebih maju. Lihat saja buktinya. Maih ingat film Sorga Ka Toedjoe? Dan Roekihati? Roekiah, pemain utamanya kan anak wayang juga. Tapi dia bisa membuktikan dirinya sama dengan pemain lain yang tidak disebut anak wayang. Lagipula soal jodoh tidak ada hubungannya dengan persoalan anak wayang atau bukan.”
Kinasih terdiam.
Harun menatap Kinasih sesaat, lalu menerawang, “Sih, Mamang mendapat pesan yang tidak pernah terucapkan dari Bang Usman. Bahwa Mamang harus membahagiakanmu. Jadi, mengantarkanmu ke gerbang rumah tangga adalah segalanya bagi Mamang. Juga mengirimkan jodoh terbaik untukmu adalah cita-cita utama Mamang, bahkan mengalahkan hidup Mamang sendiri.”
“Nanti Tuhan juga akan mengirimkannya, Mang.” Kinasih menunduk. Entah mengapa, tiba-tiba ada yang menetes ke pipinya.
“Mamang tidak mau mendengar kalau Asih naksir Dai Nipon itu.”
“Ya tidak atuh, Mang. Lagipula dia kan sudah mati.” Ujar Kinasih spontan.
“Bagaimana pun orang republik akan lebih baik untukmu, Sih.”
Kinasih mengangguk.
“Mamang banyak mendengar orang kampung sini yang tertarik dengan tentara Belanda. Kan keterlaluan, Sih.”
“Kan tidak semua Mang.”
Harun meletakkan kruknya, untuk kemudian dia duduk di kursi yang lain. Lebih dekat dengan Kinasih.
“Sih, Mamang minta maaf ya tidak membebaskanmu seperti Rodiah atau yang lain berada di luar,” ujarnya lebih pelan.
“Iya Mang tidak apa-apa. Hanya Asih tidak mengerti saja, apa ini aturan sebuah perkumpulan untuk melarang pemainnya bergaul dengan orang lain?”
“Sebenarnya tidak ada aturan yang membuat pemain sandiwara harus dikucilkan dari orang lain. Tapi, ini sudah jadi kebiasaan sejak adanya kelompok sandiwara zaman dulu. Tapi ada juga gunanya. Ini sangat berpengaruh pada kharisma pemain sandiwara. Coba saja bayangkan kalau Asih bebas bergaul dengan siapa pun. Nanti Asih akan nampak biasa saja di panggung. Orang tidak akan penasaran lagi dengan Kinasih. Lebih jauh lagi, kehadiran Asih tidak akan ditunggu-tunggu lagi oleh penonton.”
Kinasih mengangguk.
“Apalagi untuk sripanggung sepertimu, Sih. Meskipun itu membosankan buatmu, kan?”
“Ya tidak apa-apa, Mang. Asih bisa mengerjakan yang lain.”
“Syukurlah kalau begitu. Kamu bisa lakukan yang lain. Kamu memang persis Teh Sundari, jago membuat sulaman.”
“Tapi Amih kan tidak manggung, Mang.”
Harun menggeleng, lalu mengalihkan perhatian ke luar. Banyak anak laki-laki di halaman rumah itu. Tengah bermain perang-perangan. Para perempuan mengobrol di teras.
“Mang, memangnya sejak dulu pemain sandiwara itu terkurung ya?”
“Katanya begitu. Tapi kan itu dulu. Apalagi yang diberlakukan pada sripanggung. Terkadang kepalanya harus ditutup kalau misalnya turun dari kendaraan untuk masuk ke panggung. Dan itu juga berlaku pada pemain yang lain. Bahkan mereka tidak bersentuhan dengan dunia luar perkumpulan. Anak-anak tidak sekolah, makanya tidak bisa membaca. Yang ada dalam pikiran mereka adalah berakting. Tapi sekali lagi, itu dulu, sekarang pemain sandiwara rata-rata bisa membaca.”
Kinasih manggut-manggut.
“Tapi, untuk menjaga kharisma pemain utama. Kita usahakan Asih tetap menjaga jarak dengan orang lain. Mamang yakin, orang-orang akan mengerti.”
Kinasih masih diam.
“Dulu, Apa dan Amak suka cerita, waktu Mamang masih kecil. Amak suka sembunyi-sembunyi kalau ingin melihat artis pujaannya. Kata amak, ada sebuah kelompok opera namanya Union Dhalia. Dia terkenal di Padang dan di Medan. Nah, amak suka mengejar ke mana pun mereka tampil. Amak juga suka ngintip primadona yang selalu ditutup kain tipis kalau dia turun dari kendaraan.’
Kinasih manggut-manggut. Terpancar dari wajahnya semacam kegelisahan yang perlahan pudar. Segala tanya tentang perasaan, harapan tentang kehidupan yang berbeda dengan keadaan sekarang, manakala kesulitan kerap membelit grup sandiwaranya, terutama setelah orang tua tiada. Begitu pun tentang cinta. Hati dan pikirannya terbuka. Cinta memang milik siapa saja. Bumi tak akan betaruh tentang matahari yang selalu muncul dan tenggelam. Karena hakikat alam memang demikian. Begitu pun perasaan. Siapa pun boleh merasakan.
Tak terasa, perbincangan itu berlalu begitu saja. Hingga siang beranjak sore.
Ciwidey, kota kecil yang baru belajar tentang gaduhnya berbagai persoalan. Manisnya bergaul dengan para pendatang, sama-sama merasakan pahitnya perang, terkadang ada cinta yang tumbuh karenanya. Ada gadis yang menemukan sandaran hati dari para prajurit yang berdatangan. Ada juga gadis-gadis dari Bandung yang menambatkan hatinya di sini, bahkan hingga pernikahan. Perang pada akhirnya memberikan satu sisi yang lain sebagai satu jalan menempuh kehidupan baru.
Waktu terus bergulir seperti halnya roda-roda delman yang berjalan merambati aspal tipis jalan. Di kanan kirinya pepohonan rindang dimana para pejalan kaki bisa berteduh kala kelelahan. Ciwidey, kota kecil ini kembali normal. Para pengungsi satu persatu sudah kembali ke kota. Membenahi kembali rumah-rumah yang sebagian sudah hancur. Menata kembali hari-hari di kota yang telah ditinggalkan. Ada satu hal yang tersisa. Rasa kehilangan bagi sebagian orang yang merasa ditinggal. Seperti apa yang dirasakan oleh Permana.
Sore itu Permana baru sampai di rumahnya. Sebagai bagian dari pasukan Divisi III TKR yang telah resmi menjadi Tentara Rebublik, berhari-hari dia berada di posisi pertahanan Priangan. Makanya kepulangannya sekarang adalah saat yang sangat mahal. Setelah membersihkan diri, Permana duduk di beranda. Meskipun situasi sangat jauh dibandingkan dengan medan perang gerilya, namun, hati dan pikirannya tetap terjaga dan siaga.
Angin sore menyapu sejuk. Membawa harum bunga-bunga yang mekar di halaman. Mawar dan anyelir yang sewarna, merah muda. Juga cempaka yang terselip di jambangan di antara rangkain tangkai sedap malam. Wanginya meruap ke seluruh penjuru, hingga ruangan dalam. Sesaat Permana memejamkan matanya. Koran di tangannya melunglai hampir menyentuh ubin.
“Permana,” bu mantri menghampirinya, disentuhnya rambut ikal itu dengan lembut, ‘Tidurlah di dalam.”
Permana membuka matanya perlahan, lalu memperbaiki duduknya, “Oh Ibu. Saya hanya istirahat saja, Bu.”
Bu mantri duduk pula di kursi jati tapal kuda itu. Tepat berhadapan dengan Permana. Wajahnya menyembul di antara rangkaian bunga. “Kalau begitu ada yang ingin ibu bicarakan.”
Permana menarik napas panjang. Dia mulai menduga, pasti tentang perempuan.
“Semalam Apa dan Ibu sudah berbicara banyak tentangmu,” bu mantri menarik napas lelah, tatapnya nanap pada wajah di hadapannya, “Sebenarnya berat bagi Ibu. Tapi apa mau dikata. Perjuanganmu juga sangat mulia. Kamu wajib membela negara. Tapi ada satu hal yang akan membuat ibu tenang. Yaitu kamu sudi menikah dulu sebelum umurmu makin tua. Ibu takut, kamu lupa karena perjuanganmu itu.”
Permana tertawa kecil, “Ibu terlalu serius mempersoalkan ini. Bu, tenang saja, kalau sampai pada jodohnya saya pasti menikah dan mempersembahkan mantu terbaik buat Ibu. Ibu tahu kan Mohamad Hatta, beliau menikah setelah Indonesia merdeka, dan itu adalah cita-cita beliau, Bu!”
“Tapi Kamu bukan Bung Hatta, Nak. Lagi pula sekarang kan sudah merdeka. Menunggu apa lagi?” suara bu mantri mulai meninggi.
Permana mencoba tenang, “Bangsa ini belum merdeka, Bu. Lihatlah masih banyak tentara asing berkeliaran di negeri ini, bahkan hingga kampung kita. Oleh karena itu, tenang saja Bu, sudah pasti saya akan membawakan menantu pada Ibu. Yang terbaik.”
“Terbaik buatmu belum tentu baik buat Apa dan Ibu, Nak. Justru Apa dan Ibu yang akan mengirimkanmu istri terbaik, bagaimana?”
Permana tetap tenang. Kalimat seperti itu sudah diduganya jauh-jauh hari.
Suasana berubah sepi. Ada tarikan napas lelah dari mulut bu mantri. Wajah di hadpaannya sekali lagi ditatapnya baik-baik, bahkan dengan senyuman. Menghadapi anak muda ini memang harus pakai taktik, bu mantri paham sekali. Permana punya keinginan yang kuat, meskipun dia selalu menurut dengan kata-kata orang tua. Tapi kalau soal prinsip, akan lain ceritanya. Apalagi urusan perempuan. Salah-salah cara, nanti berabe akibatnya.
“Permana...”
“Ya Bu...”
Bu mantri menahan sesaat, “Mmmh, begini... “
“Apa Bu?”
“Begini... beberapa waktu lalu, tepatnya minggu lalu... Apa dan ibu ke Soreang untuk menghadiri pertemuan Masyumi. Ibu singgah di salah satu teman apa di daerah Cibuntu. Rumah seorang kiyai di sana.”
Permana manggut-manggut. Tapi matanya tak berani menatap wajah ibunya. Hanya sesekali dia menangkap sorot lembut ibu mantri. Seakan mengalirkan aroma magis yang berusaha menarik aura positif Permana agar tertarik dengan kata-kata wanita luar biasa di hadapannya ini.
“Di sana, apa dan ibu terpesona oleh seorang gadis yang cantik dan baik. Gadis itu anak teman apa tersebut. Apa dan ibu sehati untuk memilihkan dia buatmu, Permana,” tatap bu mantri lembut, “Ibu harap kamu jangan menolak, dia sangat pas untukmu. Gadis yang beragama, jatmika, penuh susila. Itu akan menjamin kebahagiaan dalam hidupmu.”
Barulah Permana sadar. Kalimat-kalimat itu mengalir tanpa jeda, tanpa ragu, dan tak tersendat-sendat lagi seperti semula. Dan yang ini tidak diduganya.
“Jika kamu siap, Apa akan melamarkannya untukmu. Lebih cepat akan lebih baik buatmu. Dari pada membujang berlama-lama. Naluri ibu sangat yakin dengan gadis itu.”
Permana ingin meledak, tapi entah apa yang ingin diledakkannya. Di hadapannya adalah seorang perempuan tak tergantikan yang tak mungkin dikecewakannya. Tapi pembicaraannya mengenai ini... Permana adalah prajurit yang terbiasa dengan arena perang. Meskipun keadaan ini lebih berat, dia menarik napas panjang.
Suasana diam sesaat.
“Bagaimana Permana?”
“Bu, siapa tahu dia sudah punya pacar.”
Bu mantri menggeleng, “Dalam kehidupan keluarga kiyai tidak ada sebutan pacaran. Mereka gadis terjaga dan hanya siap dijodohkan.”
Permana menarik napas lelah. Tapi berusaha untuk tetap tenang.
“Oleh karena itu, Ibu minta, janganlah lagi kamu keluar rumah ini hanya untuk menonton pertunjukan sandiwara atau semacamnya itu. Ibu takut, ada hal yang kurang pantas buat keluarga ini. Permana, Jagalah kehormatan keluarga kita. Siapa pun dan bagaimanapun kehidupan mereka, tetap saja anggapan masyarakat menilai kurang bagus. Lalu, jika tiba-tiba kamu dekat dengan kegiatan seperti itu, mau di kemanakan wajah dan nama orang tuamu di sini?”
Permana terdiam. Kepalanya tertunduk.
“Ibu tidak bermaksud menghina mereka, hanya, ibu khawatir dengan anggapan orang. Bagaimana pun penilaianmu tentang pertunjukan itu, tetap saja di mata masyarakat, kita dipandang buruk jika menonton mereka.”
“Mohon maaf Ibu, masyarakat yang mana maksud Bu itu?”
“Permana, kita berbeda dengan masyarakat di luar sana. Pahamilah, jagalah nama baik apamu. Jika Permana menonton Euis Zuraida, atau siapalah Ibu tidak terlalu keberatan. Tapi kalau menonton pertunjukan sandiwara seperti Harmonie, nama kita akan menjadi kurang bagus. Ibu tidak bermaksud menjelekkan mereka. Tapi Ibu tahu, kelompok seni seperti itu tidak akan berbeda gaya hidupnya dengan kelompok-kelompok sejenis yang suka tampil di tempat ini. Mereka bebas, terkadang kurang bersusila, main kartu, dan maaf, mereka kurang terpelajar.”
Permana menelan ludah. Ada yang merambat perlahan di dadanya. Rasa pasan menyelinap. Seketika itu wajah Kinasih berkelebat di matanya. Senyum malu yang tak pernah lepas itu... Sopan santun yang dimiliki gadis itu, apa kalimat ibunya bisa jadi gambaran yang pantas bagi Kinasih yang mewakili Harmonie. Gadis yang begitu sopan dna terpelajarnya. Meskipun Permana belum tahu apakah Kinasih bersekolah atau tidak?
“Maaf Ibu, tapi sejauh yang Permana tahu. Harmonie sangat berbeda. Mereka terpelajar Bu, mereka mempelajari naskah, mereka tahu adat dan aturan... ”
“Ya sudah, itu penilaianmu tentang mereka. Tapi bagi orang lain tidak begitu. Sekarang, yang penting bagi Ibu adalah mengingatkanmu. Kamu sudah dewasa. Sudah mengetahui bagaimana caranya menjada kehormatan keluarga ini.”
Permana menekan rahangnya kuat-kuat. Tapi tetap berusaha menjaga sikapnya. Dadanya bergemuruh. Seiring wajah Kinasih yang terus melompat-lompat di matanya. Permana tidak tahu lagi mengatasi semuanya. Ternyata persoalan ini bahkan lebih berat dari pertempuran baginya.
“Namanya Siti Haerani,” bu mantri segera mengalihkan pembicaraan.
Permana menahan diri sekuatnya. Wajah agung di hadapannya membungkam mulutnya tanpa ampun. Bu mantri adalah segala Ibu baginya. Wanita penuh daya kasih sayang, tak sanggup Permana membantahnya. Ibunya adalah serupa istri Arjuna, Gandawati yang penyayang, pandai, dan penuh wibawa.
“Pikirkan itu baik-baik, demi Ibu dan Apamu, juga kamu sendiri.”
Barulah kini tangan Permana mengepal sempurna. Menonjok-nonjok pahanya. Sementara itu bu mantri sudah masuk kembali ke ruang dalam. Kinasih, desisnya dalam hati. Gemuruh dadanya semakin kuat. Apalagi yang harus dilakukannya. Menemui Kinasih di rumah pak Sukarsa bukan jalan terbaik. Gadis itu juga masih memperlihatkan sikap tertutup padanya. Permana Paham, mungkin sikap Kinasih karena dilandasi rasa malu atau rendah diri sebagai pemain panggung. Tapi Permana tidak pernah mempersoalkan itu. Panggung dan pertunjukan adalah bagian dari seni. Dan seni adalah bagian dari keindahan. Sementara itu keindahan adalah hal yang dicintai Gusti Allah. Apa yang salah dalam diri gadis itu?
Cinta adalah persoalan hati. Sedangkan perang adalah persoalan kemanusiaan. Dua sisi yang dimiliki oleh setiap manusia normal yang lahir atas dasar fitrah. Sekuat apa pun manusia, sekejam apa pun seorang raja, pasti menginginkan hatinya damai oleh cinta. Seorang Mussolini damai hatinya di sisi kekasihnya, Claretta Petacci hingga mati. Pun demikian Hitler yang diktator tetap saja cintanya mati pada Eva Braun. Apalagi permana, yang baginya sekadar seorang manusia yang sescara kebetulan saja sempat memanggul senjata. Ketika seorang gadis mampu meluluhkan hatinya, baginya tak bisa menganti wajah itu dengan senyum manapun. Bukan karena kesetiaan, namun, bagi seorang prjurit, rasanya tak mungkin baginya berbagi hati. Mencinta bagian dari prinsip. Seperti halnya membela ibu pertiwi. Negeri tak bisa diserahkan pada bangsa ain, dan cinta tak bisa dibagi. Itulah prinsip.
Makin lama, kian dan kian, wajah Kinasih kian membenam dalam pikiran. Bukannya dia sudah diperbudak oleh perasaannya sendiri. Tapi Permana manusia normal. Dan cinta baginya cukup satu, seorang gadis yang tak bisa dikalahkan oleh apa pun. Seperti halnya ayelir yang tumbuh di pekarangan.
“Permana...”
Permana tersentak, pak Mantri duduk di hadapannya.
“Oh, saya tak melihat Apa datang...”
“Kamu yang terlalu serius dengan bacaanmu itu...”
“Apa makin sibuk sekarang...”
Pak mantri menarik napas panjang.
“Mau gimana lagi... Jepang sudah memanfaatkan semua kepala guru untuk propagandanya waktu itu. Setiap kokumin gakko harus menurut perintah mereka.”
“Sekarang Apa masih harus ikut organisasi juga?”
“MIAI yang ganti Masyumi waktu itu harus terus diurus, Permana. Ini masih suasana perang. Negeri ini belum sepenuhnya aman, kau tahu kan? Perang dengan senjata harus dibarengi dengan organisasi.”
“Saya pikir organisasi akan kembali hilang setelah Jepang pergi Pa... “
“Benar, organisasi memang bagian dari kegiatan yang mulai marak sejak zaman Jepang. Selain itu setelah kehadiran Jepang guru banyak dituntut untuk mempelajari sistem pendidikan yang diatur Jepang. Oleh karena itu Apa sering berangkat ke Bandung untuk pelatihan-pelatihan. Dari pendidikan di Bandung itu Apa tahu, ternyata indoktrinasi mental ideologi mengenai Hakko I-Chiu itu semata-mata untuk kemakmuran Asia Timur Raya, bukan untuk kemerdekaan bangsa ini.”
“Itu saja, Apa?”
Pak mantri menggeleng, “Bukan itu saja, kami wajib mempelajari kemiliteran dan semangat Jepang. Lalu mempelajari bahasa dan sejarah Jepang dengan adat-istiadatnya, olah raga, serta mempelajari ilmu bumi dari segi kepentingan politik. Oleh karena itu, para guru, seperti Apa dituntut untuk bisa mengajarkan lagu kebangsaan Jepang, setiap pagi mengibarkan bendera Jepang Hinomaru dan menghormat pada Kaisar Jepang. Setiap pagi murid-murid juga harus bersumpah setia pada cita-cita Indonesia dalam rangka Asia Raya (Dai Toa). Kemudian melakukan senam (taiso), latihan fisik dan militer.”
Permana mendengan kisah itu dengan seksama.
“Tidak hanya itu, para murid, pada waktu yang telah ditentukan membersihkan asrama militer, jalan, mananam pohon jarak, dan mengumpulkan bahan untk keperluan militer. Kegiatan tersebut berlangsung terus hingga Jepang pergi. Namun, setelah Jepang pergi, para guru masih terus melanjutkan kegiatan organisasi… itulah mengapa sampai hari ini Apa masih harus aktif di Masyumi.”
Ketika itulah muncul bu mantri dari dalam dengan wajah berseri. Permana kerap menikmati suasana ini sejak kecil. Lalu bu mantri menghidangkan satu bekong teh hijau. Itu yang membuat kesehatan pak mantri selalu prima.
Ada yang berbeda hari ini. Wajah pak mantri tampak serius. “Permana, ada berita apa lagi hari ini?”
“Ini Pa, masih tentang perundingan pelucutan senjata tentara Jepang.”
“Nah, apa itu berpengaruh pada nasib para perempuan itu?”
“Maksud Apa, apa?”
“Rukmini tidak pulang-pulang sejak diambil Jepang itu. Padahal kan Jepang sudah tidak menguasai kita lagi.”
“Rukmini Mamang Aceng, maksud Apa?”
“Iya, apa sudah curiga sejak mendengar macam-macam tentang para perempuan itu. Sekarang bi Aisah sakit keras. Tadi mang Aceng menemui Apa di Kesatriaan tapi tidak sempat ke sini. Cobalah kau bantu, Permana.”
“Besok saya juga sudah harus siap lagi, Pak. Menurut perintah, tanggal dua empat April ini akan dilakukan pengangkutan bekas tawanan perang dan interniran Sekutu ke Jakarta. TRI harus mengawal pengangkutan itu, nantinya mungkin juga pengangkutan tawanan tentara Jepang kepada Sekutu. Boleh jadi saya ditugaskan ke Jawa . Mudah-mudahan bisa melacak keberadaan Rukmini juga. Di mana pun tempatnya.”
“Kabarnya dulu Rukmini dikirim ke Shonanto.”
“Itu Singapura, Pa, jauh sekali.”
Pak mantri menarik napas lelah. Ketika itu muncul lagi bu mantri, “Ada apa, Pa? Serius sekali.”
“Rukmini Bu, sampai saat ini belum terlacak keberadaannya.”
“Lalu Nyi Aisah bagaimana?” wajah bu mantri mendadak serius.
“Sakit keras.”
Bu mantri terdiam. Merasakan gejala kehilangan yang dirasakan oleh Aisah, adik bungsunya. Membuatnya hanya diam mengkaku. Bahkan pembicaraan tentang Siti Haerani yang hendak dibahasnya juga hilang seketika.
Pikiran Permana mulai berkecamuk. Tentang Rukmini, adik misannya. Mungkin sebaya Kinasih. Tapi membayangkan wajah Rukmini sangat sulit. Selalu dan selalu wajah Kinasih yang muncul. Sedang apa dia sekarang? Itulah kalimat yang tersusun di pikirannya. Seharusnya dia menemuinya dulu untuk kepergiannya besok. Tapi alasan apa yang harus diungkapkan kepada orang tuanya, setelah ia tahu isi hati keduanya.
...