Kamis, 19 November 2020

 

CERITA KECIL BERSAMA BAPAK

Kisah: Iis Wiati

 

Membaca kata pahlawan tak pernah lepas dari satu kata yang identik dengan hasil, tentu saja bisa dinikmati siapa pun, meski tidak berwujud, tidak terlihat, yaitu jasa. Kata ini bahkan terkadang dilupakan oleh sebagian orang. Teronggok begitu saja dalam pemikiran-pemikiran sisa-sisa setelah hal-hal besar yang lebih penting untuk dijadikan bahan persoalan.

Pahlawan, hero, setiap mahluk hidup memilikinya. Bahkan berdirinya bangsa ini adalah karena jasa ribuan pahlawan yang telah gugur dalam riuhnya peperangan. Manusia lahir karena jasa seorang ibu, tentu saja tanpa menafikan kehadiran dan jasa seorang sosok bapak dalam hidup anaknya. Kemajuan bangsa ini juga berwujud karena kerja keras, bimbingan penuh keikhlasan, sebut saja jasa seorang pendidik. Bukan itu saja, kata pahlawan bisa melekat pada siapa pun. Para pekerja kasar, buruh, pegawai pemerintah hingga aparat keamanan yang tulus memberikan pelayanan kepada khalayak dalam membantu menyelesaikan urusan. Bisa juga, di zaman sekarang, seiring perkembangan situasi, kemajuan teknologi, dan maraknya pemberitaan, para selebrita beramai-ramai membantu kaum lemah dalam urusan memenuhi kebutuhan. Tanpa harus melihat lagi apa pretensi di balik semua itu. Pada hakikatnya mereka adalah pahlawan.

Di atas segalanya, pahlawan yang paling dekat dengan saya sampai akhir hayat adalah orang tua saya sendiri. Tak pernah terganti, tak bisa bersubstitusi. Ingatan saya tentang itu tak kan pernah lekang oleh waktu. Cinta saya pada mereka hidup dalam keabadian. Sekarang, nanti, bahkan hingga saya kembali bertemu mereka setelah kematian, dalam keabadian.

Cinta, itu bentuknya. Tidak kurang dari itu.

Saya terlahir dalam buaian senja yang merana karena datangnya malam, tapi mereka menyadarkan saya untuk tidak lelap dalam gelap. Dengan bimbingan mereka, saya selalu tersadar akan indahnya matahari pagi hingga senja yang menjadi cahaya ketika malam tiba.

Lalu mereka bercerita tentang kehebatan orang-orang di masa silam. Bagaimana Adam meninggalkan surga, bagaimana para raja besar bertahta, tentang Firaun dan Nabi Musa. Saya tercerahkan  dengan semuanya. Kisah-kisah itu membawa saya pada keinginan besar untuk mencari misteri di balik alam raya. Tentang manusia, sejarahnya, hingga cita-cita. Dan itu pada akhirnya saya temukan lewat buku-buku cerita, kisah-kisah besar manusia berpengaruh yang penuh warna dengan jasa-jasanya pula. Sejak itu saya menjadi ingin maju dan ingin menimba ilmu. Lebih dari itu, menjadi pemberi ilmu seperti juga ibu.

Dan hari ini. Semua berwujud. Saya menjadi seorang guru.

Ada cerita kecil ketika saya memulai semuanya. Saat itu usia saya baru menginjak 7 tahun. Sebuah massa, saatnya semua anak mulai menikmati bangku sekolah. Tapi tidak bagi saya. Sampai saya katakan, berkat merekalah saya bisa memulainya.

Inilah kisah saya.

Ketika itu, suatu pagi di tahun 80-an. Saya akan didaftarkan di sebuah sekolah dasar. Menjadi siswa sekolah adalah satu kebanggaan. Bahkan ketika usia lima tahun, saya sudah punya kerinduan tersendiri untuk masuk gerbang sekolah itu. Gerbang sekolah yang waktu itu punya getaran magic tersendiri. Anak-anak yang sudah masuk ke sana rasanya seperti orang yang sudah berhasil melewati sebuah ujian besar. Padahal sebenarnya gerbang sekolah itu tak lebih dari pagar bambu.

Saya melangkahkan kaki dengan riang. Sekolah dasar itu hampir dua kilometer jauhnya. Jalan yang sesekali berisi genangan lumpur, tanah becek diselingi batuan koral. Namun mereka mendadak bersahabat. Kaki saya pun tidak perlu tergelincir di atasnya. Apalagi terpeleset dan menyisakan kotoran di baju. Kala itu berwarna putih biru karena seragam belum sama setiap jenjang pendidikan seperti sekarang. Padahal saya belum resmi diterima sebagai siswa. Mungkin bahasa sekarang saya sudah ke-ge-eran.

Pohon deres yang menyubur di sisi kali seberang jalan mendadak bermakna. Begitu pula deretan tanaman bunga sepatu. Sesekali saya menyentuhnya, mengambil putiknya, lalu saya isap sarinya. Manis rasanya. Saya tersenyum sendiri sambil berlari-lari dan memegang putik itu. Bapak  berjalan mengikuti langkah saya di belakang.

Meskipun belum tercatat sebagai siswa baru, rasanya saya sudah menjadi siswa di sekolah itu. Sebuah sekolah negeri di pinggiran kampung yang ramai oleh kesenyapan. Bebas dari bising kendaraan, bebas dari bising mesin pabrik . Bahkan bebas dari keluh-kesah mulut-mulut manusianya. Langkah saya mantap di depan bapak.  Sampai-sampai beberapa kali saya lepaskan tangan bapak yang hendak menuntun. Karena sebenarnya saya ingin berlari sendirian.

Di depan sekolah sudah berkumpul para orang tua dan anak-anaknya.  Ketika itu saya langsung melangkah ke pintu ruangan tempat penerimaan siswa baru. Bapak menguntit dari belakang. Lalu bapak berjalan menuju meja salah seorang panitia. Saya terdiam di dekat sebuah meja kayu jati yang bagian tengahnya bolong berbentuk bulatan. Posisi saya hanya berjarak setengah meter dengan laki-laki tadi. Ketika itu mata saya mengintip catatan di buku besar miliknya. Sepertinya nama-nama siswa baru yang siap menjadi siswa tahun ini.

Setelah terjadi perbincangan antara bapak dengan laki-laki itu, bapak menyuruh saya berdiri di hadapannya. Laki-laki tadi menyuruh saya meletakkan tangan kanan saya di atas kepala, lalu menariknya ke arah kiri hingga jemari tangan ini harus menyentuh telinga yang sebelah kiri. Saya  menurut. Sialnya, jemari-jemari saya yang kecil ini tak sampai-sampai. Padahal sudah ditarik sekuat tenaga.

Bapak terdiam. Lalu petugas itu menyuruh saya keluar dulu.

“Saya diterima kan, Pak?” pertanyaan saya was-was karena melihat reaksi bapak,  “Pokoknya saya mau sekolah, Pak.”

“Iya, iya,” hanya itu jawaban bapak. Memang itu kebiasaan bapak kalau saya merengek. Hanya dengan kata ‘ iya’, sepertinya bapak berpikir saya sudah merasa puas. Karena pada akhirnya saya memang terdiam.

Sayang sekali, ternyata saya tidak diterima tahun ini. Gara-gara tangan kanan saya tidak bisa menyentuh telinga kiri saya. Demikianlah métode lama dalam hal mendaftarkan diri di sebuah sekolah dasar negeri pada zaman itu.

Ketika itulah rasanya saya ingin berteriak. Ingin menangis sekencang-kencangnya. Mengapa urusan tangan menjadi persoalan yang merepotkan untuk daftar sekolah. Mungkin jika  sudah pandai berpribahasa, ketika itu saya akan berteriak, inilah maknanya: apa daya tangan tak sampai.

Siang itu saya pulang dengan menekukkan kepala. Dari sekolah hingga rumah. Sampai  mata saya paham sekali batuan koral, tanah berpasir, bahkan kotoran kucing yang hampir terinjak. Hingga tidak terasa tengkuk saya terasa pegal. Sampai rumah tak bisa lagi ditahan, air mata ini deras mengalir. Lalu saya tersuruk ke kamar.

Terdengar di luar kamar percakapan bapak dan ibu. Tapi saya tak tertarik untuk mendengarnya. Saya sangat tahu apa yang mereka bicarakan. Hingga sore saya tak keluar kamar. Berulang kali ibu membujuk. Tapi saya tak peduli. Saya pun merasa percuma, apa pun keinginan saya, sekeras apa pun tangisan saya, pasti tak akan memberi jaminan saya bisa masuk sekolah. Semua terasa buntu. Omongan apa pun menjadi tak penting lagi. Karena hanya satu ingin saya. Sekolah.

Kekecewaan itu membuat saya sakit. Seminggu badan saya terasa panas. Sehingga harus disuntik. Lalu mantri suntik itu menyuruh saya minum obat yang teramat pahitnya. Sepahit kenyataan, saya tak bisa masuk sekolah. Tapi percuma, obat itu pun tak bisa menjadi jaminan kesehatan saya. Saya terpuruk. Bangku sekolah yang menjadi obsesi saya waktu itu terus membayang, dan itu sumber sakit sesungguhnya.

Ketika itu Bapak mulai marah pada mekanisme penerimaan siswa baru.

“Jangan sakit ya, anak Bapak kan hebat dan kuat. Nanti Bapak mau ketemu dengan Pak kepala sekolahnya...”

Saya membeliak. Menatap wajah bapak dengan sungguh-sungguh, tapi tanpa kata. Mulut saya terasa kering dan kelu. Entah apa yang ada di kepala ini. Harapan itu tiba-tiba menyeruak. Ada secercah sinar di hadapan, seiring dengan senyum dan anggukan Bapak.  

Besoknya Bapak mendatangi rumah kepala sekolah. Saya pahami sekarang, sepertinya aroma nepotisme kecil telah berjalan, karena keputusannya, saya bisa sekolah, tapi sebagai anak bawang! Tak apalah. Kalau bukan anak bawang, mungkin sampai saat ini saya akan menanggung dosa sekeluarga akibat nepotisme kecil-kecilan.

Baiklah, saya menjadi anak bawang, tapi saya berjanji akan menjadi anak bawang bombay!

Hal yang tak bisa saya lupa sampai sekarang, bapak akan melakukan apa pun untuk saya, jika itu untuk hal-hal yang benar. Dengan dukungan ibu, yang hidupnya sepenuh-penuhnya untuk bapak, tentu semua menjadi berjalan sangat lancar.

Mengalirlah nyanyian-nyanyian dari mulut saya. Nyanyian dari lagu-lagu yang sering saya putar di tape recorder milik bapak. Lagu-lagu yang dari hari ke hari semakin mengental ke telinga, hingga  hafal di luar kepala.

Banyak yang bapak dan ibu kenalkan, tentang nyanyian, tentang dongengan-dongengan, hingga aroma pengajian. Hidup harus diwarnai banyak hal. Ungkapan itu baru saya pahami sekarang. Bapak yang pernah sekolah PGA, bapak yang bukan sarjana, begitu kaya hidupnya dengan perumpamaan-perumpamaan. Meskipun kariernya tidak terlalu sukses, menurut saya Bapak teramat hebat dalam mendidik anaknya. Bersama ibu yang selalu sepakat dalam membimbing saya, tak satu pun hal yang terasa berbuah cela, semua bermakna, dan terasa manis hingga sekarang.

Bapak yang tak punya apa-apa, bahkan terlahir dari kemiskinan orang tua semata, kini menjadi sosok penasihat sebuah Yayasan Pendidikan gratis di kampung saya. Hal besar yang sama sekali tidak bisa saya tiru kepahlawanan dan kebesaran jiwanya dalam mengelola sebuah Yayasan Islam, sekolah gratis, bekerja tanpa pamrih apalagi mengeruk untung besar.

Inilah arti kepahlawanan yang saya dapatkan di zaman ini. Seorang lelaki yang berjiwa besar menjaga, memelihara, dan bekerja keras membesarkan sebuah amanat suci, serta menjadi bagian kecil dalam memelihara kecintaan pada bangsa ini.

😊terlahir dari jiwa besar: bapakku sang pembina Yayasan Pendidikan Islam Nurulhidayah Miftahurroja

"H2C - Hello Hero Chalenge"

"Kisah Kecil Bersama Bapak"

Iis Wiati

Guru Bahasa Indonesia

Asal sekolah: SMAN 5 Kota Bogor


Sabtu, 30 Mei 2020

KEMBANG PELAKON

KEMBANG PELAKON
(Cerbung, IISWK)
Kembang ke-1
Bandung, 22 Maret 1946
“Sayonara … Mata aimasho. ”Laki-laki itu menunduk.
Meskipun sudah berganti pakaian sipil, tetap saja wajahnya raut Dai Nipon. Tampang pemuda republik tidak bisa dihohongi. Ya, laki-laki itu adalah Dai Nipon atau tentara Jepang. Tentara yang selama tiga setengah tahun merasa jagoan di wilayah ini. Menebarkan rasa takut pada penduduk. Menghantui kehidupan para gadis. Membuat keadaan semakin tak karuan. Kutukan yang paling menakutkan.
Tapi sejak Amerika menjatuhkan bomnya di Kota Hiroshima dan Nagasaki, 6 Agustus 1945 lalu, para abdi kaisar Tenno Heika itu tunduk dalam kekalahan. Seperti laki-laki itu, tengkuknya merunduk patuh di ujung bayonet pemuda Indonesia.
Kinasih termangu. Dia membayangkan kejadian itu. Empat tahun yang lalu, ya empat tahun yang lalu. Ketika itu Belanda masih kuat menguasai negeri ini. Lalu tiba-tiba Jepang datang. Dengan kesaktian Sang Dewi Amaterasu-nya, bangsa kulit kuning bermata sipit itu berhasil mengambil alih kekuasaan Belanda. Padahal Belanda sudah hidup ratusan tahun. Memberikan garis hitam dan putih pada negeri ini. Tapi tak terasa, takdir kembali berbalik. Sekarang Jepang juga harus mengakui kekalahannya. Itulah sejarah. Sejarah pula yang membawa laki-laki itu ke hadapan Kinasih untuk menemuinya sesaat. Lalu pergi lagi.
*
“Kamu melamun, Sih?”
Kinasih tersenyum, “Saya hanya ingat tentara Jepang itu, Mang.”
“Ingat tentara Jepang itu? Maksudnya?”
“Maksud Kinasih, dengan bermain sandiwara, ternyata rakyat kecil seperti kita bisa jadi dikenal orang. Dan Kinasih jadi kenal tentara Dai Nipon itu...”
“Dia kan penggemarmu.”
Kinasih tertawa, “Tuhkan, bahkan saya juga bisa punya penggemar ya, Mang? ”
“Tentu saja, Sih. Kamu kan pemain sandiwara yang bagus. Terus kamu kan cantik. Bisa saja suatu saat kamu ditarik bermain felm (film).”
“Mamang bisa saja.”
“Betul. Bahkan Mamang pikir, kamu tidak kalah oleh artis Dahlia atau artis Jepang Kaeroda Kijo .”
“Wah Mamang ini, jangan berlebihan Mang.”
“Lho, Mamang serius Asih.”
“Sudahlah Mang, jangan bercanda terus. Sekali pemain sandiwara, Asih tetap bersandiwara. Asih bahagia dengan bersandiwara. Ini hidup Asih untuk membuat almarhum emak sama apa bangga sebagai anak wayang.”
Keduanya terdiam. Angin berdesir lembut ke sela-sela wajah mereka.
“Oya Mang, kira-kira Dai Nipon itu dibawa kemana ya?”
Laki-laki itu mengangkat bahu, “Mungkin dia sudah mati, Sih.”
Kinasih menarik nafas panjang.
“Mungkin begitu. Atau mungkin juga dia dibawa ke Cihapit. Supaya tentara Jepang itu ikut merasakan penderitaan rakyat dan orang-orang Belanda yang dulu ditawan mereka di sana.”
“Cihapit?”
“Ya.”
“Sama saja mereka bertukar tempat. Sama-sama mendapat siksaan.”
Laki-laki yang dipanggil mamang itu tersenyum. Tak lama kemudian dia beranjak. Langkahnya tertatih disangga sepasang tongkat yang dikepit oleh kedua ketiaknya.
Sekarang Kinasih sendiri. Gadis itu memperbaiki letak duduknya menjadi lebih nyaman. Dia menikmati tempat itu. Sebuah bangku dengan meja lebar di bawah pohon kersen. Biasanya kalau sore atau malam (jika tidak ada perang), tempat itu selalu digunakan bapak-bapak untuk mengobrol, bermain kartu, atau catur. Tempat itu juga biasa dijadikan tempat berlatih para pemain sandiwara. Mulai berlatih dialog hingga berlatih menahan mental karena dimarahi sutradara.
Beberapa saat kemudian dia kembali mengambil kain putih berbahan sifon di dekatnya. Lalu menisik bagian-bagian yang sobek dari gaun pengantin itu. Salah satu perlengkapan pentas untuk lakonnya nanti.
Angin menyapu sepi. Pelataran yang diisi dengan rumah-rumah kayu, atau tepatnya kamar-kamar berukuran tiga kali empat meter itu, nampak tidak bernyawa. Para penghuni kamar satu pintu itu masih istirahat sisa pertunjukan semalam. Begitulah keadaan bascamp sebuah grup sandiwara manakala matahari sedang di atas kepala. Meskipun di dalam kamar lebih pengap dan sesak, mereka tetap menikmatinya. Padahal pada umumnya satu kamar berisi tiga empat orang, bahkan sekeluarga.
Pelataran itu juga terkesan sederhana. Hal ini karena selain mereka berada di pinggiran kota, juga nampak dari penataan sekitar halamannya. Tengok saja dari ujung kiri ke ujung kanan. Di depan pintu setiap kamar yang berjumlah lima itu, nampak meja kayu dengan perabotan dapur seadanya, mulai kompor minyak, penggorengan, rak piring kecil, dan bakul yang bergantung di dinding. Tidak jauh dari situ berdiri tiang kayu dengan bentangan tali jemuran. Di atasnya bertengger baju-baju lusuh. Mulai rok, kebaya, kain jaidun, celana komprang, kaos belel, handuk-handuk tipis kusam, hingga pakaian dalam. Untunglah tempat itu masih tertata dengan baik dan bersih. Meskipun tanah merah yang terkadang becek di musim hujan kerap masuk ke dalam.
Sesekali terdengar teriakan anak-anak yang sedang bermain gatrik dari bagian sudut pelataran. Jika tidak ada latihan yang kerap ditontonnya, mereka memilih bermain. Tak jarang anak-anak itu mengganggu para orang tua yang sedang istirahat. Maka tak jarang pula mereka mendapat umpatan. Hingga satu atau dua orang tua yang tidak sabar langsung keluar kamar. Marah-marah atau mengusir mereka. Hingga keadaan benar-benar sepi. Namun setelah matahari condong ke barat, suasana kembali ramai. Karena saat itu adalah saatnya para pemain berlatih. Ada latihan gerakan, seperti tarian hingga berkelahi. Ada latihan bernyanyi, berdialog, hingga latihan menangis. Semua harus dihapalkan di luar kepala sesuai dengan petunjuk sutradara. Tentu saja kadang tanpa teks naskah. Apalagi sebagian dari mereka ada yang tidak bisa membaca. Makanya teks tidak penting bagi mereka.
“Sih, sedang apa? Mamang ada?”
Asih tersentak. Di hadapannya sudah berdiri seorang laki-laki gemuk pendek bermata sipit. Dengan warna kulitnya orang bisa menyimpulkan kalau laki-laki itu orang Cina. Umurnya kira-kira lima puluh tahunan. Dia berkemeja putih dan celana hitam, serta berdasi kupu-kupu.
“Eh, Babah Bonceng , ada Babah.”
“Masih istilahat? Suluh ke sini mamangmu itu.”
Kinasih bangkit segera. Laki-laki itu duduk di bangku dengan gelisah.
Tak lama kemudian muncul laki-laki yang bertongkat tadi. Dengan sopan dia menyalami tamunya.
“Lun, Halun, keadaan genting!” Babah Bon Cheng segera menuntun tangan laki-laki yang bernama Harun itu. Lalu membantunya duduk di bangku tadi. Sementara Kinasih berdiri melongo.
“Keadaan genting, Lun. Kita halus mengungsi.”
“Mengungsi? Ada apa lagi? Bukankah Jepang sudah kalah?” Harun mendekap erat sepasang tongkatnya. Wajahnya tegang.
“Aah, itu aku tidak faham. Yang penting situh halus amankan almada situh, telutama Kinasihmu itu!”
“Mengungsi ke mana Babah?”
“Pengumumannya halus pindah ke alah selatan. Semua, kelualgaku juga. LLI (RRI) sudah umumkan supaya seluluh penduduk kota mengungsi ke tempat aman. Bandung akan dibakal nanti malam oleh pala pejuang kita supaya tidak diduduki Belanda. Itu saja yang aku tahu, Lun.”
Harun melenguh. Sejak kakinya cacat oleh karena peperangan, dia tidak bisa lagi berjuang. Terutama melibatkan diri dalam kancah peperangan di garis depan.
“Betapa tidak bergunanya aku ini buat bangsaku sendiri. Aku harus mengungsi menjaga para perempuan dan anak-anak saja? Menghindar?” itu pikir laki-laki yang dipanggil Harun itu.
“Bukan begitu Lun, kau halus ngelti, kau bisa beljuang dengan calamu sekalang. Peljuanganmu dulu sudah cukup. Yang penting kan kau tidak diam. Dengan mengungsi dan tetap menggelakkan sandiwala, kau tetap beljuang dengan cala lain.”
Harun menarik nafas panjang. Menerawang, “Mestinya dulu aku mati ya Babah, mati sebagai pahlawan.”
“Hus, kau ini bicala apa? Kalau kau mati, siapa yang jaga Kinasih? Siapa pula yang akan menjaga almada ini. Hidup mati meleka ada di tangan kalya-kalyamu, Lun. Tidak ada kalyamu, altinya meleka tidak makan.”
Kinasih tersenyum, “Tenang Mang, dengan bersandiwara, Mamang tetap berjuang, mengobarkan semangat perjuangan pada para pemuda. Apa dan ema pasti senang.”
“Betul betul,” babah Bon Cheng menepuk-nepuk bahu Harun yang masih menerawang, “Sekalang sebaiknya belsiap-siap. Paling lambat jam sepuluh malam.”
“Baiklah Babah, terima kasih.”
Babah Bon Cheng mengangguk, lalu pulang.Kembang ke-2
Siang itu langit terang. Tapi kelabu menyelimuti hampir seluruh penghuni bascamp. Tak ada cakap lagi. Pertanyaan-pertanyaan sudah tak perlu. Semua paham kalau setiap detik apa pun bisa terjadi. Nyaris, tak pernah sanggup berpikir tentang esok, minggu depan, bulan depan, apalagi tahun depan. Rencana-rencana hidup tak pernah berdaun berakar. Bahkan lima menit atau lima detik ke depan, tak pernah ada yang paham. Bukan saja karena situasi perang, tapi kehendak alam, tak bisa dibantah lagi.
Seperti yang diperintahkan Harun, penghuni bascamp mulai berkumpul di halaman. Pohon kersen seakan menjadi saksi perpisahan mereka dengan tempat itu. Bahkan mereka tidak tahu, sampai kapan mereka pergi dari sana. Tak hanya mereka, bahkan penghuni lain berhamburan keluar. Masing-masing membawa pakaian seadanya. Ada yang di kantong, di karung, bahkan dibungkus kain berbentuk buntelan. Mereka siap meninggalkan bascamp kesayangan!
Hanya ada yang berbeda. Anak-anak riang gembira sambil meneriaki pekik merdeka. Entah apa yang mereka pikirkan. Bayangan hidup nomaden seperti itu menjadi petualangan yang layaknya ada di film-film yang sesungguhnya tak pernah mereka tonton. Tapi mereka tahu, mungkin jiwa bebaslah yang membawa pikiran anak-anak seperti itu. Sungguh berbeda dengan orang dewasa. Maka, pahamlah, dunia anak adalah kebebasan sempurna.
“Selamat tinggal kota Bandung”
“Kami tidak akan lama. Kami akan kembali...”
“Tunggulah kami!”
“Merdeka!”
“Merdeka!”
“Merdeka!”
Pekik merdeka terdengar dari berbagai penjuru. Pintu-pintu rumah mulai terbuka. Mengeluarkan penghuninya dengan langkah semangat, terutama anak-anak. Seorang ibu menggendong anaknya yang masih kecil. Diikuti anak yang lain yang lebih besar. Ada yang tidak beralas kaki. Tapi tapak kaki mereka begitu akrab dengan tanah kasar di bawahnya.
Di jalanan ternyata sudah berhamburan para pengungsi lain. Mereka kebanyakan orang tua, wanita, dan anak-anak. Ada yang menuntun, ada yang menggendong, bahkan ada pula anak-anak yang menggendong adiknya. Wajah mereka ada yang gelisah, ada juga yang sedih. Mereka meninggalkan kota kesayangan. Tapi ada juga sebagian wajah anak yang tetap riang.
Kinasih berada di antara rombongan. Dengan mengenakan kerudung sifon dia berada di sisi saudara-saudaranya yang lain. Sementara di depannya, pamannya, Harun, mulai terseok-seok diantara dua kruknya yang tegap menancapi jalan.
“Asih, Mamang tidak akan kuat kalau harus jalan kaki. Sekarang suruh semua awak sandiwara untuk berjalan ke arah stasiun.”
Kinasih menoleh, turut menghentikan langkahnya, “Maksud Mamang apa? Kita naik kereta?”
Harun mengangguk. Matanya menghapus keraguan di wajah Kinasih, Cukup paham dengan rona muka itu, “Nggak usah bingung, Mamang punya tabungan. Biar Mamang yang membayarkan karcisnya. Kita akan ke daerah Ciwidey. Kebetulan ada teman mamang di sana.”
“Memangnya kalau jalan kaki jauh ya, Mang?”
Harun melenguh, napasnya mulai tersengal, “Waduh, bukan jauh lagi atuh Nyai. Kita harus mengambil arah Cililin. Tahu Nyai Cililin?”
Kinasih menggeleng,”Cuma pernah dengar. Paman pernah di sana kan, waktu berperang?”
Harun mengangguk.
“Kalau kita lewat arah Cililin, artinya kita harus jalan ke arah Cimahi. Itu tidak mungkin. Akan berhari-hari kita di jalan.”
“Oooh, Kinasih mengerti Mamang," gadis itu manggut-manggut, "Pasti banyak tempat yang harus dilewati.”
“Iya, macam perang saja kalau lewat sana. Harus lewat Rongga, Sindangkerta, Rancapanggung, belum masuk ke Gunung Padang. Itu masih puluhan kilometer dari Ciwidey. Lalu masuk Rawabogo, Salamanjah, Nangkerok, Panyocokan...”
“Aduh, kapan sampainya Mang? Anak-anak gimana?”
“Ya jangan! Tentu kamu sayang juga sama mamangmu ini.”
Kinasih termangu. Sedikit pun tak paham tentang nama-nama tempat yang diabsen satu-satu itu. Pamannya yang bekas prajurit itu sudah tentu sangat kenal dengan banyak daerah di wilayah ini. Bahkan mungkin di pulau ini.
“Apa tidak ada jalan lain, Mang?”
“Melalui jalan lapangan Andir?” Harun menggeleng, “Mamang kuatir, jalan itu tidak aman, banyak tentara musuh berkeliaran di sana.”
“Kasihan saja uang Mamang bisa habis nanti.”
“Tidak apa-apa.”
Akhirnya semua mengikuti anjuran Harun sebagai pemimpin. Para awak sandiwara memutar arah menuju ke utara. Menyusuri pasar Baroeweg (jalan Oto Iskandardinata sekarang). Mereka terdiri atas para perempuan dan anak-anak. Sementara pengungsi lain kebanyakan berhambur ke arah selatan menuju Tegallega.
Anak-anak tampak riang. Di pikirnya seakan tak ada beban. Dan ketika mereka mendengar bahwa kaki harus diarahkan ke stasiun, langkah mereka makin semangat saja. Padahal keringat sudah mulai membasahi tengkuk. Tapi tak ada kelelahan di wajah-wajah itu. Mereka menyibak kerumunan. Inilah pengalaman yang hebat. Untuk yang pertama kalinya mereka akan naik kereta.
“Nah, anak-anak, kita mau naik si Gomar.”
Anak-anak bersorak mendengar nama itu. Si Gomar adalah sebutan untuk lokomotif Tipe 1 D+D buatan Amerika. Selama ini nama itu memang hanya ada dalam dongengan. Tapi kini, tampang si Gomar ada di hadapan.
“Mamang, makasih ya bisa naik si Gomar...” salah satu anak berbisik.
Alangkah baiknya paman mereka. Harun, menjadi pahlawan dalam pikiran seluruh awak. Harun memang pemuda yang baik. Sejak kakinya cacat oleh peluru tentara Belanda, hidupnya diserahkan untuk awak kelompok sandiwara itu. Apalagi setelah orang tua Kinasih meninggal. Seluruh hidupnya murni untuk keponakannya itu. Jadilah Kinasih dan awak sandiwara itu asuhannya.
Matahari sudah condong ke barat. Kereta api sudah mengendus dari arah utara. Membelah ribuan penumpang yang hendak ke selatan. Asapnya mengepul. Sudah siap kembali untuk sebuah perjalanan panjang.
Beberapa jam kereta api merayapi rel yang terbentang dari stasiun Bandung menuju Stasiun Ciwidey. Menyusuri bantalan-bantalan rel kokoh sisa peninggalan Belanda. Melintasi jembatan dengan konstruksi baja di sela-sela panorama pegunungan yang indah. Hingga tidak terasa, matahari sudah berada di ufuk barat.
Pengalaman menaiki kereta menjadi sesuatu yang teramat istimewa. Bukan karena kenyamannya di dalam gerbong-gerbong yang ada. Lupakan itu. Bahkan penumpang kereta berjejal dengan tujuan yang sama. Mencari tempat aman karena tuntutan situasi. Namun kru yang dibawa Harun, tetap bersemangat, terutama anak-anak. Padahal hanya satu dua orang yang mendapat tempat duduk. Tapi wajah mereka menyiratkan suka yang luar biasa.
Kinasih berdiri dengan satu tangan memegang sandaran kursi. Kerudung sifonnya sengaja menutupi rambut dan sebagian wajahnya. Matanya lurus ke luar. Menembus daun-daun hijau dan pohon yang nampak berjalan dalam bayangan. Suasana isi gerbong tak membuatnya hilang cahaya di wajahnya. Kesadarannya akan segala situasi membuatnya selalu terlihat tenang dan meyakinkan. Entah apa yang ada di pikiran gadis itu. Bahkan membayangkan kota Ciwidey pun tak sanggup. Tempat yang akan menjadi tujuan perjalanannya adalah tempat yang asing. Namun, hatinya yakin, akan ada keceriaan baru yang bisa menghiasi hari-harinya.
Dilihatnya sekilas sosok Harun yang duduk di seberangnya. Kebetulan mata mereka berpapasan. Harun tersenyum, “Mau gantian duduk?”
Kinasih menggeleng, “Lebih enak berdiri, Mang...”
Begitulah, setelah hampir empat jam, Kinasih terus menolak bergantian duduk dengan Harun. Mereka berdiri diantara anak-anak yang malah duduk-duduk di lantai gerbong, tanpa beban. Mereka berbicara di antara ramai pembicaraan orang-orang. Tentang Bandung yang akan dibakar, tentang perang, bahkan tentang masa depan negeri ini yang orang tak pernah jelas punya jawaban. Selalu dalam pembicaraan mereka terdengar pekik ‘merdeka’. Sementara mereka tidak paham, apa sebenarnya ‘merdeka’ itu.
Perjalanan melelahkan, tapi tak ada yang merasa kelelahan. Udara Ciwidey mulai terasa. Angin gunung mulai menyapu wajah. Terasa dingin, terutama bagi penumpang yang notabene pendatang baru di tempat itu. Termasuk Kinasih. Kain sifon yang menutupi wajahnya, kini sudah menutupi sebagian muka hingga hidungnya. Hingga yang terlihat adalah sepasang bola bening yang siapa pun tak rela pergi meninggalkan, ketika kebetulan melihat riak rona yang penuh pesona itu.
Ketika itu, Kereta api baru merapat di stasiun Babakan Tiga, Ciwidey. Para penumpang berhamburan dari pintu kereta. Wajah anak-anak masih terlihat gembira. Hawa dingin langsung menerpa wajah dan tubuh mereka.
Para awak yang dipimpin Harun sudah berkumpul di dalam stasiun. Tampak pula hilir mudik puluhan orang di sana. Mulai anak-anak, dewasa, hingga orang tua. Para wanita banyak yang berpenampilan rapi dan cantik. Tidak tampak suasana perang. Pedagang berjejer, seperti pedagang cendol, pedagang es cingcau, pedagang lotek. Bahkan ada juga tukang sol sepatu dan tukang cukur.
“Neng, bade uras, cuhcur, galendo…. “ seorang ibu menjajakan jualannnya ke hadapan kelompok Harun.
Harun menggelengkan kepalanya dengan sopan.
“Sekarang kita ke mana, Mang?” Kinasih muncul membawa kantong pakaiannya.
“Sepertinya tempat ini sudah penuh oleh pengungsi. Tidak apa-apa, kita ikut yang lain saja.”
“Mamang punya teman kan di sini?”
“Iya ada, tapi pasti dia sedang berperang, Sih.”
“Ooooo.”
“Mamang harus menanyakannya dulu. Mamang sendiri belum tahu rumahnya.”
Kinasih terdiam. Wajahnya melihat sekeliling.
Sejenak Harun berpikir. Tapi ketika itu tiba-tiba seorang bapak muncul menginstruksikan sesuatu.
“Para ibu, dan anak-anak semua, sebagai sama-sama orang republik kami menyambut kedatangan semua. Untuk sementara, semua akan ditempatkan di rumah-rumah penduduk.”
“Tuh Mang, ternyata kita sudah diatur,” bisik Kinasih lirih, senyumnya mengembang. Gadis ini memang tidak menunjukkan kecemasan sejak ada instruksi mengungsi. Tetap tenang seperti biasanya. Tak gaduh tak rusuh. Itu memang sifat yang diturunkan oleh Siti Sundari, ibunya. Gadis Sunda yang memiliki pesona keibuan luar biasa. Selalu tenang dalam menghadapi segala.
Kemudian Harun tertatih mendekati laki-laki itu. “Pak, mohon maaf, kami dari rombongan sandiwara kira-kira berjumlah dua puluh orang, kalau bisa kami digabungkan.”
Laki-laki itu berpikir sejenak, sepintas saja melihat ke arah kruk yang menyangga tubuh Harun, “Oya? Dari grup apa?”
“Harmonie.”
“Wah wah, selamat datang!” laki-laki berumur kira-kira tigapuluh tahunan itu menepuk bahu Harun, “Kami senang dengan kedatangan grup Saudara. Baiklah, nanti akan kami usahakan menampung grup ini di rumah yang ukurannya cukup besar.”
“Terima kasih, Pak,” Harun tampak gembira.
“Panggil saya pak Atma saja, saya dari kecamatan yang ditugaskan membantu semua pengungsi,” ujarnya lagi sambil mengulurkan tangannya, “Ternyata, kampung ini kedatangan banyak tamu agung. Tadi siang juga datang para artis Bandung seperti Neng Euis Zuraida, Sam Saimun, hingga Zainab. Dan sekarang kelompok sandiwara Harmoni,” lalu pak Atma menempelkan bibirnya di telinga Harun, “Tenanglah, saya tidak akan membocorkan identitas grup ini. Yang penting nanti grup Harmonie ini bisa pentas di kampung kami,” ujarnya masih berbisik.
Harun langsung mengangkat jari jempolnya, tanpa kata.
Pak Atma tampak gembira, “Terima kasih, merdeka.”
“Merdeka!”
Sementara itu suasana stasiun makin ramai. Waktu menjelang malam. Pekik merdeka dari orang yang lalu-lalang terus terdengar.
Bersambung :))
Kembang ke-3
Ciwidey, Akhir Maret 1946.
Udara mendekati beku di ujung subuh. Ini malam pertama bagi kru Harmonie menghabiskan malam dengan gigil dingin. Bahkan jika melihat ke luar, barisan pohon dan tanaman bunga serupa gadis yang merenung di balik awan. Angin berdesir lembut. Melengkapi kabut yang memenuhi pandangan.
Para penghuni rumah panggung berukuran besar itu mulai kelihatan aktivitasnya. Namun masih nampak mereka menggigil kedinginan. Makanya sejak pagi, para ibu membiarkan anak-anak berkumpul di dapur. Semua mengerumuni hawu[ Tungku yang terbuat dari batu atau tanah liat.] dengan dua lubang yang apinya berkobar-kobar.
Seorang anak muncul, “Hore, aku punya ubi. Aku diberi tetangga sebelah. Katanya ubi enak kalau dibubuy. Kubur saja di abu panas di dalam hawu itu...”
Kinasih mengikutinya dari belakang, tangannya menenteng bakul kosong berukuran agak besar. “Dodo memang hebat. Pagi-pagi begini sudah punya teman.”
“Memang kalian dari mana?”
“Baru mencuci di kolam depan masjid.”
“Mencuci? Kamu tidak kedinginan, Sih?”
“Ya dingin, airnya seperti es. Tapi menyenangkan Bi…”
“Tapi kan masih pagi.”
“Tidak apa-apa. Sambil lihat-lihat pemandangan. Kampung ini indah Bi...Oya, sebentar lagi kan kita harus latihan untuk pentas besok malam. Makanya semua pekerjaan harus selesai. Lagi pula mencuci di sini enak, airnya banyak dan jernih. Bahkan mau nyuci di sungai juga bisa. Namanya Sungai Catangcengkat. Tempatnya dekat sekali. Paling terhalang beberapa kebun singkong di sebelah kiri kampung ini.”
“Sumur di belakang juga banyak airnya Sih.”
“Tidak apa-apa, sekalian jalan-jalan mumpung masih pagi.”
“Awas lho, kita tetap anak wayang. Jangan sampai jati diri kita yang asli diketahui oleh orang lain. Ingat kita ini tetap milik panggung. Sarimu juga bisa hilang sebagai sripanggung, Sih.”
Asih menarik napas panjang.
“Iya juga Bi, cuma sayang kalau dilewatkan. Tadi saya ikut Dodo akhirnya sekalian nyuci baju..”
Hati kecil Kinasih membenarkan kata-kata bibi[ Adik perempuan ayah atau ibu]nya. Tapi kampung ini lain. Membuat semacam keinginan baginya mengenal dunia lain, dunia luar lebih dari sekadar bascamp yang selama ini memenjaranya dari dunia luar.
“Oya, Bibi lagi mikir untuk pentas besok malam. Apa penontonnya ada ya?”
“Kayaknya ada Bi...”
“Tapi bibi lihat-lihat penduduk di sini kan tidak terlalu banyak Sah..”
“Tapi tadi Asih melihat banyak orang berdatangan ke sungai buat nyuci. Berarti masih ada kampung lain dekat-dekat sini.”
“Bisa jadi ya... Cuma karena terhalang sawah dan kebun-kebun.”
“Kata Mamang, kampung ini hanya salah satu dari kampung di wilayah Ciwidey ini.”
“Ooo,”
“Oya, kita siapkan anak-anak Bi, Sekarang mamang sedang menyiapkan ceritanya.”
“Kita nanti pentas di mana, Sih?”
“Di gedung kesenian.”
“Gedung kesenian? Daerah sekecil ini ada gedung kesenian?”
Kinasih mengangguk.
“Ya sudah anak-anak, kalian bersiap-siap, barangkali Mang Harun membutuhkan kalian. Kalian tidak boleh ribut dan nakal ya.”
Kelima anak laki-laki itu manggut-manggut. Mereka adalah Atang, Ahmad, Dodo, Ramlan, dan Ujang. Semuanya adalah anak-anak para anggota sandiwara. Sementara ayah mereka harus berjuang, kelima anak usia empat hingga enam tahun itu harus ikut dengan ibu mereka. Untunglah ada Harun, paman mereka. Disebut paman atau panggilan mamang karena semua yang ada di situ adalah satu keluarga. Meskipun ada keluarga yang jauh kekerabatannya. Seperti Dodo dan Ramlan. Mereka anak dari sepupu Harun. Sedangkan Ujang anak Sunarti, adik bungsu Harun. Jadi Ujang juga adalah sepupu Kinasih. Begitu juga Atang dan Ahmad. Mereka anak dari Ceu Imas dan Ceu Sumarni, kakak-kakak Harun, atau adik Usman. Dengan demikian, Kinasih adalah satu-satunya gadis yang memiliki ikatan darah dengan Harun. Sementara yang lain adalah angggota keluarga yang jaraknya sudah jauh, tapi tetap bergabung. Seperti Aminah dan Rodiah, dua gadis yang ikut bergabung. Serta beberapa orang lainnya. Sehingga jumlah mereka ada dua puluh orang. Tapi laki-laki dewasa hanya Harun sendiri.
Sebagian orang sudah mengenal kelompok sandiwara Harmonie. Terutama para pengungsi yang datang dari kota. Tapi tidak pernah ada yang tahu sejarah berdirinya kelompok ini. Kelompok ini merupakan ekor dari Toneelvereniging Braga[ Pemain perkumpulan Tonil Braga 2.bp.blogspot.com
] atau Perkumpulan Tonil Sandiwara Braga. Toneelvereniging Braga berdiri tanggal 18 Juni 1882 yang dipimpin oleh Asisten Residen Priangan Piter Sijthoff. Harmonie memang bukan turunan dari kelompok tonil Braga. Namun demikian, pendirian sandiwara Harmonie diilhamii Toneelvereniging Braga tersebut.
Pada awalnya orang tua mereka bekerja di sana sebagai pembantu. Lalu, Usman, kakak Harun yang waktu itu masih sangat muda juga meneruskan orang tuanya. Tugasnya membuatkan kopi atau membereskan segala keperluan pentas, hingga belanja. Lama Usman mengabdi di sana. Keuletan bekerja, ditambah bakat tersembunyi tentang penampilan di panggung membuatnya bisa mempelajari semua hal yang berkaitan dengan pentas dan sandiwara.
Keadaan itu membuatnya menciptakan kehidupan perpentasan baru di sekitar tempat tinggalnya. Sebuah perkampungan yang ada di pinggiran Bojong Loa. Beberapa saudara yang masih pemuda dan anak-anak dikumpulkan. Termasuk adik-adik perempuannya. Lalu diajarkannya berakting. Selain itu Usman juga mencari ide cerita. Tertatih-tatih Usman memimpin perkumpulan ini. Kelompok ini mulai dipercaya untuk manggung di awal tahun tigapuluh limaan. Di sebuah pesta perkawinan. Mereka tampil penuh kesederhanaan. Sampai suatu ketika Usman mendapat tawaran dana dari seorang keturunan China. Namanya Babah Bon Cheng.
Babah Bon Cheng adalah saudara seorang pemilik toko di daerah Jalan Braga. Toko itu menjadi langganan Usman membeli perlengkapan tampil sewaktu bekerja pada Toneelvereniging Braga. Untuk selanjutnya, Usman didukung dana oleh Babah Bon Cheng tersebut. Bahkan setelah Usman gugur dalam peperangan melawan penjajah. Grup ini tetap mendapat dukungan Babah Bon Cheng. Ketertarikan Babah Bon Cheng untuk membantu karena memang ingin mendirikan sebuah grup sandiwara. Awalnya dia mengidolai Tan Tjeng Bok. Tan Tjeng Bok merupakan penyanyi keroncong dan aktor terkenal dari perkumpulan Dardanella, milik seorang Rusia bernama A. Piedro. Bertahun-tahun ia mengidolai aktor yang dijuluki “Douglas Fairbank of Java”[ Dari buku Sejarah Film, karangan Misbach Yusa Biran: Fairbank adalah pemain Amerika pupoler yang terkenal dalam permainan action dan mahir main anggar.] ini. Sampai aktor ini tidak terlihat lagi dalam pertunjukan setelah tahun tigapuluhan.
Kegiatan Usman juga didukung penuh oleh adiknya, Harun. Padahal waktu itu Harun masih sangat muda dan ikut menjadi laskar pejuang. Harun sering memberikan masukan terutama untuk cerita-cerita yang berbau perjuangan. Sehingga Harmonie menjadi sebuah kelompok Sandiwara yang cukup dikenal di kalangan masyarakat. Meskipun tidak sehebat dan seterkenal kelompok Toneelvereniging Braga.

Kembang ke-4
Detik yang penuh gairah bagi seorang pemain sandiwara adalah melihat arena pentas yang di sekelilingnya sudah mulai penuh dengan penonton. Seperti malam itu. Sebuah gedung, tidak terlalu besar, berdiri nyaman di puncak yang sebelah kanan dan depannya terbentang jalan menikung dan menanjak. Namanya Gedung Orion. Memang tidak termasuk megah namun cukup memuaskan bagi sebuah pementasan. Entah dari mana datangnya, orang-orang mulai bermunculan di gedung yang tepatnya berada di ujung sebuah tikungan menanjak itu. Boleh jadi mereka datang dari arah selatan dan barat daya yang jika siang mata memandang, yang nampak adalah pegunungan dan derah pertanian subur. Juga beberapa rumah di pinggir jalan besar. Sementara ke arah timur dan utara, tempatnya penduduk banyak berdomisili, termasuk sebuah pasar dan kantor kecamatan yang dilengkapi sebuah alun-alun dengan pohon beringin di sekitarnya.
Semua kru Harmonie sudah bersiap-siap sejak siang. Menjelang magrib mereka sudah berada di tempat itu. Tentu dengan harapan besar, pementasan perdana di wilayah Ciwidey malam itu berjalan dengan baik dan manis. Tidak saja mengalir lancar.
Harun sudah sejak siang memberikan instruksi-instruksi dengan serius. Terus meyakinkan bahwa yang hadir tidak saja penduduk lokal, tetapi juga para pendatang yang merupakan pengungsi yang benar-benar membludak di wilayah itu. Apalagi setelah tanggal 24 April lalu, setelah benar bahwa Bandung sudah dibakar oleh para prajurit yang berada di wilayah Dayeuh Kolot dan sekitarnya. Nampaknya Bandung sudah dikosongkan.
Malam itu, sebelum pentas berlangsung, seperti biasa doa dipanjatkan untuk Usman. Ayah Kinasih yang memelopori perkumpulan itu.
“Bapak, ibu, teman-teman, adik-adik seperjuangan, merdeka!” kalimat pertama Harun disambut dengan pekik merdeka dari penonton.
“Sebelum pementasan kami persembahkan untuk hadirin di gedung yang luar biasa ini, saya ingin memohon kerelaan semua untuk berdoa bersama bagi kakak kami tercinta, Saudara Usman, beliaulah pelopor perkumpulan sandiwara Harmonie.”
Suasana mendadak senyap. Seluruh perhatian para penonton tertuju pada Harun yang tampil dengan tongkat itu. Suara Harun yang menggelegar menjadi paling utama di gedung itu. Padahal tak ada pengeras suara yang membantu suaranya.
“Saudara Usman, kakak kami, selain menjadi pelopor sandiwara Harmonie, beliau juga adalah seorang prajurit yang telah mengorbankan dirinya untuk kemenangan kita... sayangnya beliau harus gugur di medan perang. Beliau gugur dalam pertempuran pada awal Desember tahun 1945 lalu. Ketika itu terjadi pertempuran besar melawan NICA di wilayah Lengkong Besar. Pesawat Bomber dan Mustang membabi buta di langit Bandung. Sehingga banyak yang menjadi korban. Termasuk kakak kami, Usman.”
Suasana benar-benar senyap. Gedung itu seakan mati.
Beberapa saat kemudian, suasana berubah setelah Harun mulai mengisyaratan bahwa pentas akan dimulai. Beberapa kru mulai membuka layar.
“Sebelum pentas perdana ini kami mulai, ada beberapa hal yang akan saya sampaikan. Dulu, sebelum tahun seribu sembilan ratusan, sebelum grup ini terbentuk, telah terbentuk sebuah grup Tonil yang terkenal di Bandung. Sebuah grup tonil untuk kalangan atas. Dengan sutradara orang Belanda yang sangat terkenal, yaitu Jan Fabricus. Nah, saudara-saudaraku, meskipun karya ini tidak sehebat karya Jan Fabricus, semoga pertunjukan ini akan membuat saudara-saudara terhibur. Apalagi di zaman perang seperti sekarang.”
Terdengar tepukan dari penonton yang memenuhi gedung yang disebut dengan Gedung Orion itu.
“Selamat kepada para pejuang yang telah berani mengorbankan jiwa dan raga. Semangat patriotisme para pemuda dalam membumihanguskan Bandung kota tercinta minggu lalu, akan menjadi bukti bahwa bangsa kita tidak akan pernah menyerah pada negeri mana pun di dunia!”
Sorak sorai mulai membahana. Tepuk tangan memenuhi gedung ini sehingga rasa dingin sudah tidak terasa lagi. Semua mata tertuju ke panggung. Tak sabar untuk menonton pertunjukan yang akan segera terhampar di hadapan mereka.
Tepat pukul tujuh pertunjukan drama dimulai. Semua pemain sudah siap di belakang layar. Mereka datang ke tempat itu tanpa diketahui siapa pun. Oleh karena itu tidak ada yang tahu, siapa mereka, darimana mereka, dan mereka menginap di rumah siapa. Yang diketahui oleh para penonton adalah rangkaian adegan akan terhampar di hadapan mereka. Seperti seorang pemuda, yang sesungguhnya perempuan, berpakaian Tuan tanah Belanda. Ada seorang gadis menggunakan kebaya Sunda. Lalu beberapa wanita yang sudah disulap jadi laki-laki. Ada yang menjadi petani, kusir, tentara Belanda, dan tukang kebun. Ada juga yang menjadi para pejuang pemuda, orang tua, dan rakyat jelata.
Kemudian masuklah Kinasih, dengan kebaya Sunda. Namanya Nyai Dasima[ Novel Nyai Dasima dikarang oleh Gijsbert Francis, terbitan 1896 dengan judul asli Njai Dasima. Kemudian ditulis ulang oleh S.M Ardan.]. Nyai Dasima adalah seorang nyai atau istri piaraan Edward William, seorang Inggris. Mereka memiliki seorang puteri bernama Nancy. Wajah Nyai Dasima segera menyirap mata setiap penonton. Gadis itu nampak anggun. Kebaya yang sederhana tidak mengurangi pesona yang luar biasa karena kecantikan alami begitu rupa. Sepertinya tak satu pun penonton yang bisa melepaskan pandangan dari wajah Nyai Dasima. Cerita pun mengalir. Setiap babak berlalu dengan pengisahan yang menarik. Setiap pemain sungguh luar biasa menyedot perhatian semua penonton. Terutama Nyai Dasima. Maka sejak malam itu, tokoh Nyai Dasima menjadi perbincangan di mana-mana.
“Wah, pertunjukan yang luar biasa!”
“Pemain-pemainnya hebat!”
“Apalagi Nyai Dasima itu!”
“Iya ya, meni geulis pisan.”
“ Siapa sebenarnya nama gadis itu?” tanya seorang pemuda yang sejak tadi hanya terdiam.
“Tidak ada yang tahu. Semua pemain keluar dari lubang rahasia, hahaha.”
“Hiburan ini sesuai untuk kita yang sudah lelah berperang.” Ujar yang lain.
“Ya, hitung-hitung mengumpulkan energi lagi untuk pertempuran berikutnya.”
“Itu mojang, cantik sekali.”
“Setuju, setuju!”
“Nampaknya dia juga salah satu pengungsi dari Bandung.”
“Tinggalnya di mana ya?”
“Di dekat rumah juga banyak yang tinggal pengungsi tapi belum pernah lihat gadis itu.”
“Tapi percuma, kita hanya bisa melihat saja.”
“Ya lumayanlah.”
“Apa daya kita, dapat hiburan begini saja sudah syukur...”
“Jangan mengharap banyak.”
“Ini suasana perang, jangan mikir macam-macam.”
“Apa maksudmu?”
“Kamu pikir, dia akan naksir kita kalau kita suka dia?”
“Hahaha...”
Percakapan serupa membias di mana-mana. Membuat gedung ini ramai dengan berbagai pendapat yang menunjukkan kepuasan penonton.
Sementara itu, di bagian lain, di sebuah sudut yang agak jauh dari panggung, seorang pemuda tampak diam terpaku. Laki-laki itu kira-kira seusia dengan Harun. Badannya tegap. Wajahnya simpatik dengan rahang yang kuat. Matanya tajam mengapit hidungnya yang bangir. Alisnya tebal. Rambutnya berombak ikal. Penampilannya memperlihatkan kalau dia bukan laki-laki kebanyakan. Karena penonton yang lain masih banyak yang hanya memakai celana komprang, blacu sampai kain sarung. Terutama yang menonton di bagian belakang. Makanya penampilannya nampak menonjol di antara penonton dari kaum kebanyakan.
Penampilan gadis itu tidak sekadar membuatnya penasaran. Tapi juga otaknya mengingat-ingat, ia yakin kenal dengan gadis itu. Sayangnya para pemain tidak diperkenalkan baik sebelum pentas maupun selesai pentas. Untunglah di ujung pertunjukkan muncul kembali Harun. Dengan tongkatnya dia menutup penampilan para awaknya dan mengucapkan terima kasih.
Di antara tepukan yang membahana, pemuda itu seperti terjaga dari tidur yang amat panjang karena mimpi yang membangunkannya. Wajahnya nampak tersentak. Hatinya bersorak. Harun! pekiknya tertahan.
Maka tanpa berpikir panjang dia menyelinap di antara sesak penonton. Tidak seorang pun yang berani melarang pemuda itu menyelinap masuk ke ruang dalam. Semua penjaga malah hanya manggut-manggut memberikan hormat. Sementara mata para penonton mulai dibuai lagi dengan pertunjukan baru, yaitu calung. Calung merupakan kesenian Sunda berupa pertunjukan lagu yang diiringi dengan alat musik bambu yang dipukul. Pertunjukan ini juga diselingi lawakan khas Jawa Barat. Para pemain calung biasanya laki-laki, seperti halnya yang tampil saat itu.
“Saya mau menemui pimpinan sandiwara, dia kawan saya!” ujar pemuda itu sopan pada salah seorang penjaga yang menggunakan pakaian tentara republik. Nampaknya pertunjukan ini mendapat pengamanan juga dari kalangan tentara republik.
“Owh, Cep Permana! Merdeka!” segera tentara itu mengenal wajah pemuda yang dimaksud. Tangannya terjulur menandakan mengijinkan masuk ke ruang di belakang panggung.
Pucuk dicinta ulam tiba. Detik begitu mudah berkompromi. Ketika itu, tanpa diduga muncul juga Harun dari dalam yang kontan terkaget juga dengan kehadiran temannya itu,
“Permana!” serunya.
“Harun!” Permana turut menjajari suara Harun yang memekik tertahan.
Suara itu terdengar bersamaan. Keduanya berpelukan.
“Aku tadi datang terlambat, aku pikir bukan Harmonie yang bermain di tempatku ini. Sungguh kehormatan besar!” Tangan Permana mengguncang-guncang bahu Harun. Sehingga tongkat penyangganya ikut bergoyang, “Anda hebat! Anda pemimpin awak yang luar biasa!”
“Apa kabar Kau? Sejak penguburan Bang Usman, kau tidak muncul lagi di tempat kami.”
“Aku sebenarnya kangen dengan kalian, tapi ceritanya panjang. Nantilah aku ke tempatmu. Peperangan membuat semua berubah.”
Keduanya berpelukan lagi.
“Di mana kalian menginap.”
“Di daerah Cihanjawar.”
“Bagus, rumah orang tuaku di Kampung Warung, tidak jauh dari sana. Oya mana awakmu?”
“Semua sudah pulang, mereka diangkut dengan delman. Padahal sebenarnya jalan kaki juga bisa.”
“Tidak apa-apa, kalian tetap harus jaga kharisma dengan tidak bersentuhan dengan dunia luar. Kalau jalan kaki, kalian bisa diserbu penonton.”
Harun terdiam. Setelah mereka mengobrol, akhirnya Permana memutuskan untuk datang ke rumah yang ditempati Harun besok pagi.
Kembang ke-5
Matahari merangkak sejengkalan. Dalam suasana terang tanah, udara yang sejak semalam begitu beku, kini mencair perlahan. Angin pegunungan tak lagi menyepi sendiri. Hangatnya sinar di ufuk timur mulai bercerita tentang ramahnya pagi kalau mereka berdua mesra, dalam persenggamaan alam.
Suasana hangat membuat orang-orang berkumpul di luar rumah untuk sekadar berdiri atau duduk-duduk sambil berjemur. Tapi bukan semacam situasi di zaman Jepang. Ketika itu, para penduduk harus bersama-sama membungkukkan badan menghadap matahari, menyembah bola panas yang sangat besar itu sebagai jelmaan sang dewi Amaterasu O Mikami. Itu semua sudah berlalu.
Kesibukan sudah tampak sejak pagi di rumah besar itu. Rumah kosong itu adalah rumah pak Sukarsa. Dikosongkan karena pak Sukarsa hidup sendiri setelah ditinggalkan oleh sang istri. Sementara anak-anaknya tidak mungkin mengisinya karena semua sudah berumah tangga. Makanya pak Sukarsa sekarang tinggal di daerah Panundaan, rumah salah satu puteranya. Rumah itu hampir berdekatan dengan rumah juragan Rahma. Kelak juragan Rahma akan mengadakan pesta perkawinan Kolonel Nasution[ Jenderal Besar A.H. Nasution] dengan Neng Sunarti, atau Johana Sunarti putera kedua Raden Gondokusumo, seorang aktivis Partai Indonesia Raya (Parindra).
Pagi itu Permana datang dengan pakaian santai. Di tangannya menggantung sebuah karung besar yang penuhnya di atas separuh isi benda tersebut.
Harun yang segera menyambutnya terperangah dengan keadaan itu.
“Kami tahu, kalian butuh ini. Lumayanlah, ada ubi dan singkong, nanti bisa direbus. Ada gula pasir, kopi, juga teh hijau. Ibuku juga menitipkan beberapa kue buatannya.”
“Wah wah, terima kasih Bung, ini sangat mewah buat kami. Setelah Jepang datang, baru kali ini kami melihat kembali gula.”
“Ini juga baru ada lagi di Ciwidey ini. Baru beberapa toko Cina yang buka.”
“Syukurlah, kalau begini jadinya, bisa-bisa kami tidak mau kembali ke Bandung, Bung. Kota kelahiranmu ternyata luar biasa.”
“Tentu saja. Satu hal lagi, Bung. Luar biasa dingin!”
“Hahaha.”
“Ngomong-ngomong, jangan panggil aku bung ah, sebutan bung cuma pantas buat Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Sjahrir saja...”
“Hahaha...”
“Aku dengar itu juga, memang betul, Bung!”
“Hahaha”
Wajah mereka begitu ceria, suasana sangat akrab, sebagai dua sahabat yang telah dipisahkan oleh jarak dan waktu yang begitu panjang.
Lalu keduanya duduk di atas kursi rotan yang ada di teras tersebut. Beberapa pot bunga tampak berdiri tanpa tanaman, “Kita ngobrol di sini saja, sambil menikmati udara pagi. Sayang kalau keindahan kampung ini kita lewatkan.”
“Bandung tidak kalah indah," ujar Permana.
Harun manggut-manggut. Menerawang.
“Tapi sayang, sebagian sudah hangus, Run,” tatapan Permana lurus ke depan. Keduanya mendadak diam. Suasana menjadi sepi. Kini kedua mata mereka seperti menerawang jauh. Pandangan mereka berdua sama. Luruh pada hamparan kebun singkong yang tanamannya mulai jarang. Tentu saja karena pada zaman Jepang banyak penduduk yang beralih makan singkong setelah beras sulit ditemukan.
“Satu hal yang aku sesalkan, aku tidak ikut berperang dengan kalian,” mata Harun berkaca-kaca.
Permana menoleh, “Tenang saja, caramu sekarang, juga sama nilai perjuangannya.”
“Terima kasih, Bung.”
“Oya, aku baru ingat, Nyai Dasima itu keponakanmu, kan?”
“Oya, aku lupa kenalkan kau dengannya waktu Bang Usman gugur. Iya dia anak satu-satunya dari Bang Usman. Dia harta grup ini, ” mata Harun mulai bersemangat.
“Tentu saja. Selain harta, dia kembang yang tak akan pernah layu, betul bukan? Hahaha.”
“Kau bisa saja.”
"Peperangan telah usai sementara. Tidak ada yang salah kalau kali ini aku datang mengisi kekosongan jiwa dengan mencari tahu siapa gadis itu.”
Keduanya tertawa lagi.
“Sekarang di mana dia?” Permana menengok ke arah pintu yang tertutup.
“Baru mandi. Biasanya mandi pagi, tapi hari ini kularang. Bisa sakit kalau dia mandi dengan air beku di sini. Apalagi habis pertunjukan semalam. Dia tidak pernah mau mandi air hangat. Bahkan kayaknya semua awak belum mandi, kecuali aku pemimpinnya. Aku juga hampir beku nih.”
“Asalkan jangan Kinasih yang beku…
“Kau ini, tetap seperti dulu.”
Permana geleng-geleng kepala, “Gadis memang tidak ada habisnya buat dibahas. Tapi aku berani bertaruh, sepertinya aku baru melihat gadis secantik keponakanmu itu, Run. Maaf ya, kau tahu kan aku? Aku tidak pernah berdusta pada diriku sendiri. Aku jujur, aku spontan.”
“Iya aku tahu.”
“Satu hal lagi Run, yang harus kau tahu dari aku.”
“Apa itu?”
“Aku sudah tua. Aku harus cepat menikah.”
“Perang mungkin mau usai Bung, sudah waktunya kau cari calon istri. Di medan perang bisa kau temukan laskar-laskar wanita yang cantik, bukan?”
“Tak ada Bung, serius, tak ada yang menarik hatiku.”
Harun tertawa.
“Tapi kau normal kan Bung?”
“Karena aku normal, makanya aku datang ke sini, hahaha...”
Harun geleng-geleng kepala.
“Kayaknya setelah usiaku sekarang, baru Nyai Dasima yang membuat mataku terpesona...”
“Dasar kau Bung!”
Keduanya tertawa lagi.
“Sebagai seorang sahabat, aku sangat paham. Makanya aku berpikir panjang jika seandainya Kinasih yang umurnya baru menjelang lima belas harus menjadi pendampingmu.”
“Hahaha, jangan begitu Bung. Umurku masih dua puluh, tenang saja...”
“Dan yang jelas, dilarang mendahuluiku, hahaha.”
Keduanya tertawa lagi.
“Oya, katanya kau mau cerita, ke mana selama ini Bung?”
Permana berdehem, “Sebelum dijawab, sepertinya dari tadi aku belum disuguhi apa-apa ya? Mana tradisi Sunda yang katanya sudah melekat di darah Padangmu itu? Kami menyediakan minimal segelas teh pahit buat tamu.”
“Oya aku sampai lupa,.” Harun bangkit menuju pintu, “Sih…Tolong buatkan kami teh hangat.”
“Nah, itu yang kumaksud. Terima kasih kau paham, sobat.”
Tak lama kemudian muncul seorang gadis membawa baki minuman. Permana terkesiap melihat wajah itu. Tapi mendadak wajahnya berubah.
“Kinasih mana?” tanya Harun.
“Baru selesai mandi, Mang.”
“Suruh ke sini ya? Ada teman Mamang nih. Oya kamu juga harus kenalan. Dia sahabat Mamang waktu berperang dulu. Tentu saja sebelum mamangmu pakai tongkat begini.”
Keduanya bersalaman. Tapi wajah Permana mendadak serius. Dia hanya manggut dengan senyuman.
“Tolong panggilkan Kinasih ya...”
Gadis itu mengangguk.
Harun dan Permana saling pandang, lalu keduanya tertawa lagi.
“Ah kau, aku tak percaya kalau sampai saat ini tak ada satu pun laskar wanita yang menarik hatimu....”
Permana spontan menjawab, “Aku sudah bilang, aku serius, kau tahu aku kan?” kini mata Permana menatap tajam ke arah Harun, “Kita sama-sama prajurit Bung Harun, sangat tahu tentang arti kejujuran...”
Harun manggut-manggut.
Tapi tiba-tiba perbincangan terhenti. Ketika itu muncul Kinasih. Tentu saja membuat dada Permana semacam tercekat seketika. Tapi dia sadar dengan keadaan. Segera mukanya dibuat manis.
“Sih sini Sih. Ini teman Mamang. Orang kaya sekampung sini. Makanya nih kirim ubi ubi, udah macam kaya mau jualan ubi rebus aja nih kita, hahahah”
“Hus,” Permana mengulurkan tangan segera. Lalu matanya tajam ke arah Kinasih yang hanya sekilas saja nampaknya sanggup melihat wajah sorot mata Permana yang teduh, namun cukup tajam baginya. Entah kenapa. Lalu mereka berjabatan. Kinasih masih menunduk.
“Permana ini sahabat bang Usman, juga sahabat Mamang.”
Kinasih mengangguk, “Sahabat Bapak kok masih muda?”
“Lho, dalam peperangan semua sama. Yang berbeda itu nyali saja.” Ujar Permana tanpa lepas melihat wajah Kinasih yang mulai menunduk. Meski sesaat ia bisa menemukan bulat bola mata yang sejak semalam mulai menggoda pikirannya. Sayang tiba-tiba Kinasih hendak beranjak dari situ.
“Saya ke dalam ya Mang?”
Harun mengangguk. Sementara Permana melongo melihat Kinasih berlalu di balik pintu. Hanya rambutnya yang masih basah tergerai dengan tetesan air di setiap ujungnya. Membasahi pinggangnya yang ramping.

Kembang ke-6
...
Sunyi sesaat. Ada sesal tersisa di wajah Permana. Sementara itu Harun melihatnya dengan senyum dikulum. Pastinya paham dengan warna muka dan sorot Permana yang bersemangat pagi itu. Tanpa perlu bertanya. Sebagai laki-laki, Harun bisa merasakan gejolak batin sahabatnya itu.
Permana melihat sekilas Harun. Matanya berkedip, “Boleh juga ponakanmu...”
Harun balas tersenyum. Mengangkat alisnya.
“Kok dia panggilmu Mamang? Itu kan sebutan paman buat orang-orang Sunda?” Permana heran.
“Mungkin karena sudah terlalu lama kami tinggalkan kampung leluhur di Bukittinggi. Rupanya budaya Sunda Teh Sundari, istri Kang Usman yang menjadi pengganti orangtuaku lebih kental dibanding budaya Padang. Kebiasaan almarhum Teh Sundari betul-betul mengubah kehidupan kami di sini. Dalam segala hal, termasuk makanan. Mungkin juga karena meskipun leluhur kami asli Padang, tapi hampir seluruh keturunan orang tuaku memang lahir di Bandung. Jadi sudahlah, yang penting kita sama-sama orang Indonesia.”
Permana mengacungkan jempol, “Kalau boleh aku tahu kapan kalian hijrah ke Jawa?”
“Sekitar tahun duapuluhan. Dulu, waktu muda kedua orangtuaku sangat menyukai seni pertunjukan. Sebelum hijrah ke sini, mereka sering menonton Union Dhalia Opera yang sangat terkenal di Padang dan Medan. Orang tuaku memiliki darah seni yang kental. Mungkin darah seninya mengalir pada kami. Setelah hijrah ke Bandung ayahku bekerja di salah satu kelompok Sandiwara di Bandung. Nah, lalu bang Usman yang waktu itu masih anak-anak juga ikut bekerja di sana. Selanjutnya beliau mendirikan perkumpulan ini.... Oya kenapa jadi aku yang kau wawancara? Sekarang ayo cerita perjalananmu itu.”
“Oya? Pantaslah Kinasih memang punya darah seni seperti ayahnya...”
“Tapi Bang Usman bukan pemain Bung... Dia hanya bekerja di belakang layar. Kinasih memang punya bakat saja. Bukan karena keturunan.”
Permana manggut-manggut, “Kalau dia bertahan terus di dunia seni itu, bisa jadi dia ditarik bermain film.”
“Tidaklah, dia hanya tertarik main di panggung, Bung.”
Percakapan sesaat terhenti, “Oya, bagaimana rencanamu selanjutnya?”
Permana menarik napas panjang, “Yang jelas perjuangan kita masih panjang. Aku juga sedang menunggu komando dari atasan.“
“Aku hanya mendengar, teman-teman kita sudah bergabung dalam ketentaraan yang lebih hebat lagi.”
“Iya, itu betul. Posisi TKR yang dibentuk Oktober empat lima semakin diperkuat posisinya setelah resmi jadi Tentara Republik Indonesia di bulan Januari tahun ini. Tepatnya tanggal dua empat Januari empat enam. Semangat kami makin menyala untuk mempertahankan kemerdekaan. Divisi ini sangat besar kekuatan manusianya. Meskipun awalnya kebanyakan kami bukan prajurit-prajurit terlatih, tapi kebanyakan rakyat sukarelawan. Pertempuran demi pertempuran terus kami hadapi. Perdana Mentri Schermerhorm di Den Haag belum mengakui kemerdekaan kita. Ditambah kedatangan Inggris yang dipimpin oleh Brigadir N. Macdonald yang seperti hendak memperkuat kekuasaan Belanda. Yang membuat kami semakin marah, mereka juga menggunakan kembali pasukan Jepang yang seharusnya dilucuti.”
Harun manggut-manggut, dengan tatapan serius. Tanpa suara.
“Sebagai wakil divisi aku sempat mendengar dari atasanku langsung. Katanya, sebenarnya Inggris akan jadi penengah. Dan sebenarnya dia tidak ingin terlibat secara militer dalam sengketa Indonesia dan Belanda. Malah masih bulan Oktober itu, Laksamana Mountbatten sudah meminta pada Van Mook, Van Der Plas, bahkan Laksamana Helfrich supaya Belanda mau berunding. Seperti yang sudah dilakukannya dengan Aung San di Birma. Termasuk Perancis yang juga mau berunding dengan Ho Chi Minh di Vietnam. Tapi Belanda tidak menggubris. Makanya, pertempuran tak pernah berhenti. Akhirnya rakyat yang jadi korban.”
“Andaikan aku masih bisa ikut dengan kalian,” tatapan Harun kosong, lurus menembus barisan tanaman jagung kering yang sudah rontok daun-daun dan batangnya.
“Sudahlah, dengan apa pun caranya yang penting kita berbuat sesuatu untuk negara dan bangsa ini.”
“Oya, tadi katamu, Inggris sebenarnya menginginkan perundingan ya? Terus bagaimana selanjutnya?”
“Oya, mengenai itu aku baru ingat. Ada sebuah cerita yang membingungkan tentang posisi Inggris itu. Di satu sisi, Inggris mendapat dukungan dari tentara kita, tapi di tempat yang lain, juga mendapat perlawanan.”
“Maksudmu?”
“Makanya, aku perlu bercerita. Pertama, tentang perlawanan tentara pada salah satu Batalyon. Waktu itu kira-kira awal Desember ada iring-iringan tentara yang katanya membawa perbekalan Inggris dari Bogor ke Bandung. Menjelang daerah Sukabumi mereka dihadang oleh serangan tentara yang lumayan hebatnya. Tentara pihak kita sudah menyusun kekuatan untuk itu. Katanya, musuh sempat kewalahan, hingga mereka mengerahkan serangan udara Kerajaan Inggris. Waktu itu Inggris juga mengerahkan tentara India. Hingga mereka bisa sampai ke Sukabumi besoknya. Nah, dari Sukabumi itu mereka berangkat lagi ke Bandung tapi dijemput oleh Batalyon lain, yang terdiri dari tentara Gurkha. Pengiriman bekal Inggris ini betul-betul memakan korban yang sangat banyak dari mereka. Ada puluhan orang yang mati, dan ratusan luka-luka. Nah, tapi anehnya, pada hari yang sama, ketika barisan itu sampai ke Bandung. Di Bandung juga sampai perbekalan Inggris melalui jalur kereta api. Anehnya, mereka dikawal oleh Tentara Keamanan Rakyat. Di antaranya pasukan Taruna Akademi Militer Tangerang. Hahaha, sudah pasti Jenderal Van Oyen marah-marah. Termasuk si Helfrich itu! Memang aneh, perang itu. Tapi yang penting, siapa pun mereka, kita harus enyahkan dari bumi Indonesia!”
“Itulah perang Bung. Dan aku sebagai laki-laki rasanya semakin nampak lemah di mata bangsa ini,” mata Harun menerawang, “Aku rindu suara mesiu, aku kangen dengan kekuatanku yang dulu Bung. Teriakan-teriakan itu rasanya memebangkitkan semangatku untuk menggempur kandang lawan.”
“Bung masih bisa berteriak lewat naskah-naskah yang bagus. Tuhan punya rencana atas semua ini. Percayalah. Asalkan hidup kita punya makna bagi orang lain.”
Sesaat suasana sepi. Keduanya bungkam.
“Oya, ngomong-ngomong ayo minum tehnya.”
Permana mengambil cangkir keramik itu, “Pemilik rumah ini tidak membawa barang-barangnya ya? Untunglah.”
“Iya, katanya pak Sukarsa pemilik rumah ini memang sudah mengizinkan para pengungsi untuk menggunakan barang-barangnya, makanya kami bebas.”
“Syukurlah kalau begitu. Yang aku tahu, pak Sukarsa itu teman bapakku juga, mereka pernah berjuang juga di masa muda.”
“Tentulah.”
Matahari semakin naik. Udara mulai hangat. Di dalam rumah mulai terdengar ramai. Pasti penghuninya sudah kembali dengan aktivitas masing-masing.
“Oya Bung, kami sudah kehabisan perbekalan. Kira-kira ke pasar jauh?”
“Mau ke pasar? Dekat saja. Kalau begitu biar sama-sama dengan aku.”
“Bener?”
“Iya?”
“Baiklah, nanti salah seorang bisa kuminta ke sana.”
Permana mengangguk. Kemudian Harun bangkit dengan tongkatnya. Dia masuk. Tak lama kemudian muncul lagi dengan seorang gadis dan salah satu kakak perempuannya.
“Bung, ini saudaraku Rodiah dengan kakakku, tolong ya.”
Permana bangkit seketika, “Baik.” tapi dalam hatinya bertanya, mengapa tidak Kinasih? Tapi Permana paham. Sepertinya hanya gadis ini yang diperbolehkan keluar rumah dari kelompok sandiwara itu.
“Baiklah kalau begitu, aku pamit. Besok sore aku sudah harus ke Bandung lagi. Mungkin besok pagi aku ke sini dulu. Masih banyak yang ingin kuceritakan.”
Mereka bersalaman. Permana pun pamit diikuti dua perempuan di belakangnya.

Kembang ke-7
“Ondol-ondoool…….., cuhcuuur……., gegetuuuk…….,”
Penjual makanan itu duduk malu-malu setelah bu mantri , yang punya rumah menyuruhnya naik ke teras. Lalu menyimpan nyiru dengan hati-hati, sebuah tampah yang dibikin dari anyaman bambu.
“Ujang siapa dan dari mana?” tanya bu Jakarya ramah, matanya menatap lekat dua sosok itu bergantian, sampai mukanya miring-miring, “Sepertinya baru sekarang ibu melihat kalian berdua.”
Kedua anak umur sepuluh tahunan itu saling pandang tanpa komando. Dan tanpa komando juga mereka menjawab bersamaan.
“Saya Dodo, Juragan...”
“Saya Ujang.”
Bu Jakarya tertawa, “Ooh begitu. Dari mana kalian?”
“Saya pengungsi dari Bandung.” Kali ini Dodo yang menjawab.
“Terus makanan ini siapa yang buat?”
“Ibu, bibi, semuanya, Juragan.”
“Oh, terus kalian tinggal di mana?”
“Di sana, Juragan. Di...”
“Eh Dodo dengan Ujang... tidak usah memanggil Ibu juragan ya. Panggil saja ibu ini bu mantri. Biasanya Ibu dipanggil begitu oleh orang-orang sini.”
Dua anak laki-laki itu saling pandang lagi. Lalu salah satu, Dodo mengangguk. Anggukan itu diikuti oleh Ujang.
“Lho, kalian berdua kan keponakannya Harun, ya?” tiba-tiba sebuah suara muncul di pintu seiring kehadiran sosok laki-laki muda dengan sebuah buku di tangannya. Raut mukanya begitu ramah. Kedua bola matanya menyelidik. Ada sesuatu yang ingin diucapkan. Namun begitu melihat wanita di dekatnya, mulutnya terkatup lagi. Hanya tarikan napas tersisa. Sikap itu membuat perempuan berkebaya rapi dengan perawakan tinggi itu mendadak memberenggut. Perhatiannya beralih pada laki-laki muda di dekatnya, Permana. Wajah bu Jakarya alias bu mantri nampak semakin bingung manakala melihat kedua anak itu juga mengangguk.
“Siapa itu Harun?”
“Itu Bu, teman seperjuangan saya.”
“Oya? Rasanya Ibu belum pernah mendengarnya?”
“Sudah lama beliau tidak terjun ke medan perang Bu...”
“Baiklah, lalu mengapa kalian jadi berjualan begini?”
“Mungkin mereka mengisi waktu saja, Bu,” Permana membantu menjawab pertanyaan yang sudah tentu sulit dijawab oleh dua bocah di depan mereka.
Bu mantri manggut-manggut tersenyum. “Baguslah kalau begitu, cuhcurnya juga kelihatan enak ini,” bu mantri mengambil beberapa, lalu dibungkuskan ke dalam daun pisang yang sudah tersedia. “Sejak Nipon datang, kita tidak pernah makan makanan begini.”
“Sudah ya Jang, ibu beli segini. Mudah-mudahan makanannya laku habis.”
Kedua anak itu mengangguk, lalu menerima uang.
“Jang, salam untuk Teteh Kinasih, ya,” Permana mendekat, berbisik. Sepertinya kalimat itu mengalir begitu saja. Sampai dia sendiri mendadak mengatup bibirnya kembali, lalu melihat sesaat wajah wanita yang mulai menyelidiki gerak-geriknya. Kali itu bu mantri menarik napas lelah. Lalu geleng kepala. Entah apa yang dipikirkannya.
Setelah dua anak itu berlalu, bu mantri mengalihkan perhatiannya pada pemuda yang hanya mendehem, senyum-senyum. Namun bu mantri menampakan muka yang serius. Matanya lekat pada wajah yang mulai berusaha menghindari matanya,
“Siapa itu Kinasih?”
Permana masih senyum-senyum, “Bercanda Ibu...”
“Apa?” mata bu mantri kian lekat.
“Itu Bu, keponakan Harun.” Suara Permana diakhiri dengan isyarat menjulurkan jempol tangan kanannya. Apa boleh buat, pikirnya. Sudah telanjur tertangkap basah. Mau gimana lagi. Hatinya memang sudah tak bisa dikontrol lagi sejak pertemuan kemarin. Bahkan seharian kemarin, sejak pulang dari tempat Harun, wajah gadis itu terus mengganggu pikirannya.
Bu mantri menepuk bahu Permana, “Tidak baik laki-laki dewasa sepertimu mengirimkan salam. Kalau berani datangi saja. Tapi itu pun harus sudah jelas pilihanmu. Bukan main-main. Ingat, semua gadis di dunia ini ada pemiliknya, bukan mainan.”
Permana tersenyum, “Tenanglah Bu, ini baru pendekatan.”
Bu mantri terdiam. Lalu berlalu ke dapur.
Ada kasak-kusuk di sana. Memang, sejak dapur itu penuh dengan para perempuan, suasana di sana jadi berbeda. Diantaranya sepupu suaminya yang mengungsi dari Cimahi. Ada Rukiah, sepupu bu mantri yang sudah punya anak gadis, bernama Tuti. Ada juga tetangga yang suka main-main. Termasuk Nyi Erah, janda dengan anaknya, Mimin. Mimin seumur dengan Tuti. Keduanya datang dari Cililin untuk minta jadi pembantu. Bu mantri menyebutnya rencang.
“Tah tah, tadi Cep Permana salam sama siapa?”
“Kinasih, ya Kinasih. Apa Cicih gitu…?”
“Iya pokoknya asih, ada sih sih, nya. Wah siapa itu ya?”
“Lho, lalu, bukannya, katanya tadi malam cep Permana melototi Nyai Desima itu. Terus cep Permana sukanya sama siapa ya?”
“Deuh, bagja , jadi Nyai Desima itu…”
“Ih, tapi kalau cep Permana salam sama siapa itu, Cicih itu, buat apa? Berarti cep Permana itu….”
“Iya ya, berarti cep Permana suka sama yang lain juga ya? Ah, dasar lalaki!”
“Apalagi cep Permana, sudah gagah, cakep, pintar, baik lagi.”
“Tapi ya kok nakal?”
“Ya itu, nakalnya itu, masa suka sama lebih dari satu perempuan.”
“Lho, kok kamu yang sewot, Tut?”
“Eh, tahu tidak? Tadi malam cep Permana langsung ke belakang layar. Sepertinya mencari Nyai Desima itu. Gitu tuh laki-laki kalau sudah kena pelet.”
“Wah, jangan-jangan kamu juga naksir cep Permana itu. Semalam bukannya nonton? Kenapa matamu jadi nguntit cep Permana?”
“Ya, tidak mungkin atuh Neng, saya hanya anak rencang di sini, itu namanya calutak, tidak tahu diri.”
“Makanya, ya biar saja atuh, Nyi. Tidak mungkin cep Permana diam kalau Nyai Desima itu memang cantik.”
“Tapi memang betul, Nyai Dasima itu cuantiiik, sekali. Matanya bulat, hidungnya bangir, bibirnya tipis, dan kulitnya itu lho, bersih. Pasti sudah jadi bentang dia sekarang.”
“Iya, dia memang cantik di panggung. Tapi kalau di luar panggung, tetap saja anak wayang. Tidak ada bedanya dengan penari ronggeng atau tukang ketuk tilu yang semalam berjoget dengan laki-laki nakal.”
Mendadak suasana diam. Ketika itu langsung masuk bu mantri.
“Kalian ini sedang ngomong apa sih? Perempuan kalau berkumpul, dua orang jadi terdengar lima orang. Nah lima orang, jadi seperti sepuluh orang. Tadi apa anak wayang?”
“Tidak ada apa-apa, Ceu mantri. Itu mojang-mojang pada ribut, katanya ada pemain sandiwara yang cantik. Mungkin mereka merasa tersaingi.”
Tuti mendelik, “Ih, tidak mungkin atuh kita merasa tersaingi, Wa.”
“Ya tidak apa-apa. Kalau melihat orang cantik biasanya kita terilhami untuk bisa ikut menjadi cantik.”
“Tapi kan anak wayang.”
“Nah, itu maksud Ua, anak wayang siapa?”
Tuti mencubit Mimin, “Ayo Min, siapa yang jadi anak wayang?”
“Oh eh, tidak ada kok Bu mantri.”
“Jangan bohong.”
“Itu Bu mantri, Nyai Dasima.”
“Lho, itu kan tokoh cerita yang saya sukai Min? Kalian tahu dari mana?”
“Kan semalam lihat pertunjukannya di tanjakan Sengkun.di Gedung Oryon.”
“Nyai Dasima? Pertunjukan apa itu?”
“Itu Ceu,” Rukiah yang masih duduk-duduk santai menimpali, “Gadis-gadis ini sedang membicarakan Nyai Dasima, pemain sandiwara Harmonie yang juga ikut mengungsi dari Bandung.”
Bu mantri manggut-manggut, “Lalu apa hubungannya dengan Permana?”
“Kang Permana seperti tertarik dengan tokoh itu, Wa. Matanya melotot terus, hekhekhek.” Tuti menyikut Mimin yang sedang memarut kelapa.
Bu mantri terdiam. Menarik napas panjang. Wajahnya berubah serius.
“Tadi Permana juga bicara begitu,” tapi suara bu mantri tidak berlanjut. Memang tidak biasa bu mantri ikut kasak-kusuk di dapur. Maka ia lebih memilih membalikkan kembali badan. Lalu beranjak lagi ke dalam setelah menyimpan ondol-ondol dan cuhcur di atas meja. Semua saling pandang.
“Hayo, ceu mantri marah tuh. Makanya hati-hati kalau bicara,” mata Rukiah menonjok anak perempuannya.
Wajah Tuti ketakutan. Semua bungkam. Asap mengepul dari tungku yang di atasnya terjerang air. Nyi Erah menyiapkan beras ketan di dalam baskom. Tak ada suara lagi.
Kembang ke-8
Ruang depan yang orang Sunda menyebutnya tepas, nampak sepi. Berbeda sekali dengan suasana di dapur. Di ruang ini hanya tampak empat kursi talapok kuda yang berhadapan satu sama lain. Di tengahnya berdiri kokoh meja bundar marmer dengan jambangan berisi bunga hidup. Ada dahlia, ros, juga tangkap-tangkai anggrek tanah berwarna ungu. Angin lembut menyapu sepi melalui jendela-jendela kaca yang sengaja dibuka. Meruap aroma bunga cempaka yang tengah mekar-mekarnya dari halaman depan.
Ketika itu muncul Permana dan meletakkan buku yang sejak tadi ada dalam genggamannya. Sekarang dia mengambil sebuah surat kabar di bawah meja lalu meletakkan tubuhnya dengan santai. Udara dihirupnya dalam-dalam.
Tak lama kemudian bu mantri muncul dan turut duduk di dekatnya.
“Bu, tidak sholat Dhuha?”
“Sebentar lagi,” bu mantri malah melihat wajah Permana dengan serius.
“Ada apa Bu?”
Ada napas yang panjang di wajah perempuan berkebaya ini, “Ibu ingin tanya sesuatu sama Permana.”
“Tanya apa Bu? Serius sekali. Pasti soal yang tadi, ya?”
Bu mantri terdiam.
“Tenanglah Bu, di zaman perang begini, urusan laki-laki adalah berjuang.”
“Ibu mengerti, tapi tampaknya kamu sudah mulai serius dengan hal yang lain.”
“Maksud Ibu? Apakah ada hubungannya dengan perempuan?”
Bu mantri kian lekat tatapannya, “Kamu ini, apa memang jaman mengajarkanmu demikian? Dari tadi malah kamu yang banyak nanya...”
“Maaf, maaf Permana Bu...”
“Dengarkanlah dulu..”
Akhirnya Permana terdiam. Lebih tepatnya menunduk. Adat mendengarkan memang mulai luntur sekarang ini. Mungkin itu pengaruh arena perang yang menuntut setiap manusia menanggapi cepat dalam menghadapi musuh. Ah, sebenarnya kenyataannya tidak demikian. Kedatangan musuh juga harus diamati dulu dengan taktik dan trik yang tepat. Tidak asal serang seruduk.
“Permana, suara ibu bisa kau dengarkan?”
“Iya Bu...”
“Wajahmu malah bengong begitu..”
“Iya maaf Bu...”
“Ibu mulai dengar kasak-kusuk tentang Permana. Tapi itu Ibu suka. Hanya … asalkan jangan salah pilih saja, ya Permana. Di mana pun seorang Ibu ingin anaknya bahagia. Ingat, kakak-kakakmu semua telah berhasil hidup di perkebunan sana. Semua karena tidak sembarangan dalam menentukan hidup dan memilih pasangannya.”
Suasana diam. Permana menunduk.
“Nah sekarang, ayo giliranmu bicara...”
Permana berpikir sesaat, ditatapnya bunga dalam jambangan. Ah, sialan, dalam kelopak itu tersenyum wajah Kinasih.
“Ayo,” ujar bu mantri.
Permana tersentak.
“Apa yang kamu pikirkan?”
“Permana Cuma mau katakan, Ibu tenang saja, Permana paham apa yang diinginkan oleh seorang Ibu. Permana paham setiap keinginan wanita di dunia ini, terutama wanita yang sudah mempunyai anak laki-laki bujang.”
“Kamu selalu begitu. Paling pintar berdiplomasi dengan orang tua. Mestinya kamu ikut berunding dengan Walanda itu ketimbang bertempur dan bertempur.”
Permana mengusap wajahnya, lalu tersenyum.
“Kenapa Kamu tidak tertarik dengan Bapak di Masyumi ?”
“Lho, kok Ibu tanya itu lagi?”
“Karena Ibu tahu, pertempuran bukan satu-satunya tempatmu.”
“Pertempuran melahirkan karya Bu. Ada dua pilihan dalam bertempur. Pertama gugur sebagai syuhada. Kedua, hidup terus dan menjadikan pengalaman bertempur sebagai ide untuk menghasilkan karya besar.”
Bu mantri terdiam sesaat, “Sudah pernah dekat dengan wanita?”
“Teman Permana banyak Bu, laskar-laskar perempuan, para perawat.”
“Ambillah salah satu yang paling cocok.”
Sesaat Permana berpikir, “Tidak ada yang cocok, Bu.”
Bu mantri melenguh, tatapannya lurus ke luar melalui pintu tepas yang masih terbuka. Semilir angin menggoyangkan gorden tipis warna gading tulang dan merebakkan wangi sabun cuci yang baru dikenal ibu-ibu kampung ini. Pasti Tuti banyak sekali menghabiskan sabun untuk mencuci gorden ini.
“Ibu dengar ada pertunjukan sandiwara tadi malam?” mata bu mantri masih lurus ke luar. Menatap matahari yang mulai naik hampir seperempat langit.
“Oya, betul Bu. Namanya kelompok sandiwara Harmonie. Nah, Harun yang saya maksud tadi adalah pimpinan Harmonie itu. Sebelumnya, dia juga selalu turun ke medan pertempuran Bu, termasuk kakaknya yang gugur pada waktu perang Desember tahun kemarin.”
Bu mantri mulai menatap Permana penuh selidik, “Terus mengapa temanmu itu jadi pemimpin sandiwara?”
Permana terdiam sesaat. Menarik napas panjang, “Ya, dulu, Harun seorang pejuang yang selalu siap di garis depan. Harun itu sahabat yang paling dekat dengan saya Bu. Tapi nasibnya kurang menguntungkan. Ketika perang melawan Belanda November lalu, sebulan sebelum kakaknya meninggal, kedua kakinya tertembak peluru tentara Gurkha. Tapi semangat perjuangannya sangat tinggi. Lalu dia meneruskan perjuangan abangnya di kelompok sandiwara. Selain pejuang, Harun itu penulis naskah dan sutradara yang hebat, Bu. Hanya saja waktunya banyak dibagi dengan pertempuran. Permana pernah menyarankan agar dia hijrah ke Jakarta dan bergabung dengan Keimin Bunka Sidosho . Apalagi zaman Jepang betul-betul menjadikan seni pertunjukan sebagai alat propaganda. Tapi dia tidak mau.”
Bu mantri terdiam. Nafasnya berat. Seperti hendak mengungkapkan sesuatu, tapi sulit.
“Oya Bu, pertunjukan Harmonie tadi malam, luar biasa.”
Bu mantri menatap wajah di hadapannya, “Kok Ibu tidak tahu kalau kamu ke sana? Padahal kalau Apa tahu, pasti beliau tidak akan suka. Itu kan tontonan, Nak. Kurang sedap untuk keluarga kita. Ingat, Apamu pimpinan organisasi Islam, masa putranya hadir di tempat seperti itu. Kakak-kakakmu tidak ada yang pernah menonton pertunjukan begitu.”
“Maaf Bu, ini berbeda. Saya menganggap kehadiran saya di sana sebagai sambutan tuan rumah kepada sahabat lama.”
Bu mantri kembali terdiam. Pembicaraan tentang Nyai Dasima di dapur itu tak ingin dibukanya. Lebih baik tidak tahu baginya. Lalu bangkit tanpa kata.
“Ibu mau sholat?”
“Iya. Sebaiknya kamu juga. Supaya jadi terang pikiranmu.”
Permana garuk-garuk kepala hingga ibunya hilang ditelan pintu kamar. Lalu dia mengambil koran-koran lama di bawah meja. Membuka-bukanya. Lalu menutup lagi. Beritanya tetap yang itu-itu juga. Seperti berdirinya Persatuan Wartawan Indonesia dalam kongres Wartawan di Solo, 9 Februari lalu. Menyusul berdirinya Kongres Wanita Indonesia melalui Konferensi di Solo tanggal 24-26 di bulan yang sama. Mengapa selalu Solo? Mengapa tidak Bandung? Kota Solo sepertinya lebih aman dibandingkan kota Bandung. Simak saja berita di koran yang lainnya. Betapa Bandung menjadi kota yang tidak kenal lelah dalam bertempur mengusir tentara NICA. Puncaknya bulan Maret itu. Permana masih ingat penyusupannya bersama pejuang lain ke Baleendah, Dayeuh kolot, hingga tengah-tengah kota, lalu ke Cimareme. Menginap dalam dingin Gunung Masigit . Bahkan ketika selanjutnya menyisir tempat hingga Sukabumi.
Lalu halaman lain memuat berita tentang perundingan di Hoge Veluwe, Belanda tanggal 14-24 April 1946. Sebagai tindak lanjut perundingan-perundingan yang diwakili oleh Sir Archibals Clark dari Inggris. Namun perundingan itu tidak menghasilkan kesepakatan apa-apa. Kecuali Indonesia memiliki kedaulatan atas Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Hal yang membuat keinginan bertempur terus membara. Apalagi melihat tindakan Spoor, Panglima Tentara Belanda yang ngotot ingin mengakhiri kekuatan rakyat Indonesia. Seolah-olah menutup mata bahwa kekuatan pejuang Indonesia lebih dari segalanya.
Permana menutup kembali koran itu. Lalu pandangannya kosong ke depan. Ada wajah yang melintas tiba-tiba. Tapi wajah itu juga segera menghadirkan kebingungan yang aneh. Memberatkan pikirannya lebih dari ketika mengangkat bayonet untuk menusukkannya ke dada musuh. Hal ini karena, di samping wajah itu, tergambar juga wajah ibunya, dengan sorot mata yang tajam. Tak memberi restu.
Kembang ke-9
Dingin dan kabut sudah jadi sahabat karib wilayah ini. Terutama ketika pagi-pagi manakala orang-orang bermunculan dari berbagai sudut menuju sebuah sungai, para perempuan yang hendak mencuci baju. Kejernihan Sungai Catangcengkat menjadi pesona para pencuci pakaian, bahkan hingga mencuci badan sendiri.
Hampir dua minggu tinggal di wilayah Ciwidey cukup bagi Kinasih untuk menyesuaikan keadaan. Misalnya setiap pagi pergi ke sungai itu untuk mencuci. Lalu kembali ke rumah sebelum matahari naik. Di sini agak berbeda. Kehidupannya tidak terlalu terkekang oleh aturan yang ada di kelompok sandiwaranya. Meskipun kebebasannya hanya sebatas mencuci pakaian pagi hari, sebelum orang lain datang ke sungai untuk mencuci.
Berbeda dengan saudara-saudaranya yang sudah berbaur dengan penduduk. Apalagi anak-anak. Malah mereka sering terlihat bergaul dengan para tentara. Terkadang meminjam senjata. Menjadikan ide untuk perang-perangan dengan menggunakan pelepah pisang.
Sering terdengar pembicaraan tentang kedatangan para tentara yang bertubuh tinggi, berhidung ekek, dan berkulit putih. Kadang terdengar pula akan ada serangan dari Belanda. Membuat semua penduduk ketakutan, bahkan ada yang mengungsi ke tempat lain. Tapi kenyataannya tidak terjadi apa-apa.
“Sih, ada naskah baru yang harus kita bicarakan,” Harun mendekati Kinasih yang duduk di ruang depan.
“Apa Mang?”
“Judulnya Roro Mendut.”
“Siapa itu Mang?”
“Gadis cantik, yang diinginkan seorang tumenggung di kerajaan Mataram. Kamu pas sekali dengan peran ini.”
Kinasih termenung, “Mamang dapat ilham dari mana? Kenapa tidak kerajaan yang ada di daerah Sunda saja?”
“Pajajaran maksudmu?”
“Mungkin, saya kan tidak tahu, Mang.”
“Nanti bisa, sekarang ini Mamang sedang terilhami oleh gadis yang sorot matanya tajam tapi teduh seperti kamu Sih.”
“Kok Mamang tahu?”
“Hahaa... itu penafsiran mamang saja. ”
“Tapi perlengkapannya kan memakan biaya Mang. Mamang tahu Babah Bonceng sudah tidak memasok biaya lagi pada perkumpulan kita.”
“Tidak apa-apa, dengan sering manggung kita akan lebih mandiri.”
“Ohya Mang, sebenarnya Babah Bonceng mengungsi ke mana ya?”
“Menurut informasi, banyak etnis Cina yang justru mengungsi ke utara Bandung waktu peristiwa pembakaran kota Bandung itu. Mereka bergabung ke wilayah Sekutu dan Belanda. Malah banyak etnis Cina yang membantu NICA. Tapi Mamang tahu persis, Babah Bonceng masih orang republik.”
“Lalu mengenai pertunjukkan Roro Mendut tadi? Biayanya bagaimana?”
“Ini tidak akan ditampilkan dalam kondisi darurat Sih. Kebetulan Mamang punya naskah baru. Oya Sih, sebenarnya Mamang mau bicara juga. Ada teman Mamang yang siap membantu kalau Roro Mendut dipentaskan.”
Kontan dahi Kinasih berkerut. Di masa sekarang sangat mustahil ada orang yang mau berela hati memberikan bantuan untuk kegiatan seni seperti ini. Yang bahkan biaya pertunjukan kadang tidak sebanding dengan harga tiket masuk, jika pun itu ada tiketnya. Karena seringnya mereka tampil tanpa bayaran. Seperti ketika tampil di Gedung Orion pertama kali.
“Pasti kamu tahu. Dia Permana.”
Entah mengapa, mendengar nama itu dada Kinasih mendadak berdesir. Ini perasaan baru yang mulai mengganggunya sejak kenal dengan laki-laki itu.
“Menurut Asih gimana?” suara Harun mengalir seakan tak paham dengan apa yang dirasa gadis di hadapannya. Karena sejak berhenti bertempur, hanya pertunjukan dan pertunjukan yang ada di kepala mamangnya ini.
Kinasih menelan ludah. Pandangannya lurus ke arah kebun singkong yang tinggal tunggul-tunggulnya. Ada perasaan aneh yang menghinggapinya. Antara keinginan untuk melihat laki-laki itu lagi. Antara keinginan yang takmungkin terwujud. Dekat sekali jaraknya. ketika mendengar nama itu. Kinasih pun tidak tahu mengapa. Beberapa waktu ini, sosok itu seakan membayangi dirinya. Padahal Kinasih tidak pernah memikirkannya.
“Menurut Mamang dia pemuda yang baik. bahkan lebih dari itu.”
Kinasih terdiam.
“Selain orangnya menyenangkan, Permana adalah pemuda yang hebat. Dia pejuang sejati. Berani mengorbankan diri dan jiwanya untuk bangsa ini. Bahkan Mamang sendiri tidak menduga keberaniannya itu. Waktu ada iring-iringan pengiriman pasokan Inggris ke Bandung, sebenarnya dia juga ikut menyusup ke wilayah Sukabumi, wilayah yang sangat jauh dari kesatuannya di Bandung. Dia selalu menjadi pejuang yang berada di garis depan.”
Kinasih menarik nafas lelah. Kenapa mamangnya malah cerita tentang dia. Makin menggununglah rasa tidak tahu diri yang ada dalam hatinya. Karena keinginannya sekarang sudah tak mungkin. Dia harus berkaca pada angin. Yang pasti datangya dan pergi begitu saja. Begitu pun ketika merindu laki-laki, apalagi seorang prajurit di zaman ini. Mencintai adalah sekaligus siap untuk ditinggalkan. Seperti ayahnya sendiri yang pergi berperang tanpa pulang, menyisakan kehilangan.
“Dia juga seorang pemuda yang cerdas. Permana banyak belajar segala tentang perang bahkan ilmu perang. Dia tekuni karya-karya sejarawan tentang perang. Bacaannya banyak, itu yang membuat dia dipercaya untuk maju di medan petempuran. Permana juga pintar mengajak teman-teman di kampung ini untuk terjun ke medan pertempuran. Mamang hanya berkhayal, suatu saat dia jadi keponakan Mamang. Hehehe.”
Kinasih mengalihkan pandangannya. Apa pamannya ini tidak tahu atau pura-pura tidak tahu? Bahwa sebenarnya sampai hari kemarin Permana selalu menyampaikan salamnya lewat Ujang dan Dodo. Hanya Kinasih selalu membuang pemikiran lain tentang pemuda itu. Takut, mengharapkan pemuda itu menjadi bayang-bayang disangka tubuh. Mengharapkan hal yang tidak mungkin. Bukan saja karena Kinasih menyadari siapa dirinya.
“Janganlah Mang. Asih tidak pantas. Asih hanya anak wayang.”
“Sebutan anak wayang itu dulu Sih. Karena kelompoknya ya keturunan para pemain wayang panggung. Nah kalau kita, kita bukan keturunan para pemain wayang. Leluhur kita bukan pemain pertunjukan. Tapi kalaupun iya, memangnya apa yang salah? Anak wayang hanya sebutan orang saja. Kita sama sebagai manusia ciptaan Allah dengan berbagai kekurangan dan kelebihan.”
“Sama saja, Mang.”
“Beda Sih, makanya Mamang berharap Asih mendapat jodoh yang jauh lebih baik dari kita. Mamang tahu, Asih pantas mendapatkannya.”
Kinasih terdiam.
“Sih, jangan berpikir tentang anak wayang lagi. Lagipula menurut mamang, tidak ada yang salah dengan sebutan itu. Anak wayang atau pun bukan, orang-orang dari kalangan ini nyatanya tidak serendah yang dibayangkan. Mereka bisa lebih maju. Lihat saja buktinya. Maih ingat film Sorga Ka Toedjoe? Dan Roekihati? Roekiah, pemain utamanya kan anak wayang juga. Tapi dia bisa membuktikan dirinya sama dengan pemain lain yang tidak disebut anak wayang. Lagipula soal jodoh tidak ada hubungannya dengan persoalan anak wayang atau bukan.”
Kinasih terdiam.
Harun menatap Kinasih sesaat, lalu menerawang, “Sih, Mamang mendapat pesan yang tidak pernah terucapkan dari Bang Usman. Bahwa Mamang harus membahagiakanmu. Jadi, mengantarkanmu ke gerbang rumah tangga adalah segalanya bagi Mamang. Juga mengirimkan jodoh terbaik untukmu adalah cita-cita utama Mamang, bahkan mengalahkan hidup Mamang sendiri.”
“Nanti Tuhan juga akan mengirimkannya, Mang.” Kinasih menunduk. Entah mengapa, tiba-tiba ada yang menetes ke pipinya.
“Mamang tidak mau mendengar kalau Asih naksir Dai Nipon itu.”
“Ya tidak atuh, Mang. Lagipula dia kan sudah mati.” Ujar Kinasih spontan.
“Bagaimana pun orang republik akan lebih baik untukmu, Sih.”
Kinasih mengangguk.
“Mamang banyak mendengar orang kampung sini yang tertarik dengan tentara Belanda. Kan keterlaluan, Sih.”
“Kan tidak semua Mang.”
Harun meletakkan kruknya, untuk kemudian dia duduk di kursi yang lain. Lebih dekat dengan Kinasih.
“Sih, Mamang minta maaf ya tidak membebaskanmu seperti Rodiah atau yang lain berada di luar,” ujarnya lebih pelan.
“Iya Mang tidak apa-apa. Hanya Asih tidak mengerti saja, apa ini aturan sebuah perkumpulan untuk melarang pemainnya bergaul dengan orang lain?”
“Sebenarnya tidak ada aturan yang membuat pemain sandiwara harus dikucilkan dari orang lain. Tapi, ini sudah jadi kebiasaan sejak adanya kelompok sandiwara zaman dulu. Tapi ada juga gunanya. Ini sangat berpengaruh pada kharisma pemain sandiwara. Coba saja bayangkan kalau Asih bebas bergaul dengan siapa pun. Nanti Asih akan nampak biasa saja di panggung. Orang tidak akan penasaran lagi dengan Kinasih. Lebih jauh lagi, kehadiran Asih tidak akan ditunggu-tunggu lagi oleh penonton.”
Kinasih mengangguk.
“Apalagi untuk sripanggung sepertimu, Sih. Meskipun itu membosankan buatmu, kan?”
“Ya tidak apa-apa, Mang. Asih bisa mengerjakan yang lain.”
“Syukurlah kalau begitu. Kamu bisa lakukan yang lain. Kamu memang persis Teh Sundari, jago membuat sulaman.”
“Tapi Amih kan tidak manggung, Mang.”
Harun menggeleng, lalu mengalihkan perhatian ke luar. Banyak anak laki-laki di halaman rumah itu. Tengah bermain perang-perangan. Para perempuan mengobrol di teras.
“Mang, memangnya sejak dulu pemain sandiwara itu terkurung ya?”
“Katanya begitu. Tapi kan itu dulu. Apalagi yang diberlakukan pada sripanggung. Terkadang kepalanya harus ditutup kalau misalnya turun dari kendaraan untuk masuk ke panggung. Dan itu juga berlaku pada pemain yang lain. Bahkan mereka tidak bersentuhan dengan dunia luar perkumpulan. Anak-anak tidak sekolah, makanya tidak bisa membaca. Yang ada dalam pikiran mereka adalah berakting. Tapi sekali lagi, itu dulu, sekarang pemain sandiwara rata-rata bisa membaca.”
Kinasih manggut-manggut.
“Tapi, untuk menjaga kharisma pemain utama. Kita usahakan Asih tetap menjaga jarak dengan orang lain. Mamang yakin, orang-orang akan mengerti.”
Kinasih masih diam.
“Dulu, Apa dan Amak suka cerita, waktu Mamang masih kecil. Amak suka sembunyi-sembunyi kalau ingin melihat artis pujaannya. Kata amak, ada sebuah kelompok opera namanya Union Dhalia. Dia terkenal di Padang dan di Medan. Nah, amak suka mengejar ke mana pun mereka tampil. Amak juga suka ngintip primadona yang selalu ditutup kain tipis kalau dia turun dari kendaraan.’
Kinasih manggut-manggut. Terpancar dari wajahnya semacam kegelisahan yang perlahan pudar. Segala tanya tentang perasaan, harapan tentang kehidupan yang berbeda dengan keadaan sekarang, manakala kesulitan kerap membelit grup sandiwaranya, terutama setelah orang tua tiada. Begitu pun tentang cinta. Hati dan pikirannya terbuka. Cinta memang milik siapa saja. Bumi tak akan betaruh tentang matahari yang selalu muncul dan tenggelam. Karena hakikat alam memang demikian. Begitu pun perasaan. Siapa pun boleh merasakan.
Tak terasa, perbincangan itu berlalu begitu saja. Hingga siang beranjak sore.
Kembang ke-10
Ciwidey, kota kecil yang baru belajar tentang gaduhnya berbagai persoalan. Manisnya bergaul dengan para pendatang, sama-sama merasakan pahitnya perang, terkadang ada cinta yang tumbuh karenanya. Ada gadis yang menemukan sandaran hati dari para prajurit yang berdatangan. Ada juga gadis-gadis dari Bandung yang menambatkan hatinya di sini, bahkan hingga pernikahan. Perang pada akhirnya memberikan satu sisi yang lain sebagai satu jalan menempuh kehidupan baru.
Waktu terus bergulir seperti halnya roda-roda delman yang berjalan merambati aspal tipis jalan. Di kanan kirinya pepohonan rindang dimana para pejalan kaki bisa berteduh kala kelelahan. Ciwidey, kota kecil ini kembali normal. Para pengungsi satu persatu sudah kembali ke kota. Membenahi kembali rumah-rumah yang sebagian sudah hancur. Menata kembali hari-hari di kota yang telah ditinggalkan. Ada satu hal yang tersisa. Rasa kehilangan bagi sebagian orang yang merasa ditinggal. Seperti apa yang dirasakan oleh Permana.
Sore itu Permana baru sampai di rumahnya. Sebagai bagian dari pasukan Divisi III TKR yang telah resmi menjadi Tentara Rebublik, berhari-hari dia berada di posisi pertahanan Priangan. Makanya kepulangannya sekarang adalah saat yang sangat mahal. Setelah membersihkan diri, Permana duduk di beranda. Meskipun situasi sangat jauh dibandingkan dengan medan perang gerilya, namun, hati dan pikirannya tetap terjaga dan siaga.
Angin sore menyapu sejuk. Membawa harum bunga-bunga yang mekar di halaman. Mawar dan anyelir yang sewarna, merah muda. Juga cempaka yang terselip di jambangan di antara rangkain tangkai sedap malam. Wanginya meruap ke seluruh penjuru, hingga ruangan dalam. Sesaat Permana memejamkan matanya. Koran di tangannya melunglai hampir menyentuh ubin.
“Permana,” bu mantri menghampirinya, disentuhnya rambut ikal itu dengan lembut, ‘Tidurlah di dalam.”
Permana membuka matanya perlahan, lalu memperbaiki duduknya, “Oh Ibu. Saya hanya istirahat saja, Bu.”
Bu mantri duduk pula di kursi jati tapal kuda itu. Tepat berhadapan dengan Permana. Wajahnya menyembul di antara rangkaian bunga. “Kalau begitu ada yang ingin ibu bicarakan.”
Permana menarik napas panjang. Dia mulai menduga, pasti tentang perempuan.
“Semalam Apa dan Ibu sudah berbicara banyak tentangmu,” bu mantri menarik napas lelah, tatapnya nanap pada wajah di hadapannya, “Sebenarnya berat bagi Ibu. Tapi apa mau dikata. Perjuanganmu juga sangat mulia. Kamu wajib membela negara. Tapi ada satu hal yang akan membuat ibu tenang. Yaitu kamu sudi menikah dulu sebelum umurmu makin tua. Ibu takut, kamu lupa karena perjuanganmu itu.”
Permana tertawa kecil, “Ibu terlalu serius mempersoalkan ini. Bu, tenang saja, kalau sampai pada jodohnya saya pasti menikah dan mempersembahkan mantu terbaik buat Ibu. Ibu tahu kan Mohamad Hatta, beliau menikah setelah Indonesia merdeka, dan itu adalah cita-cita beliau, Bu!”
“Tapi Kamu bukan Bung Hatta, Nak. Lagi pula sekarang kan sudah merdeka. Menunggu apa lagi?” suara bu mantri mulai meninggi.
Permana mencoba tenang, “Bangsa ini belum merdeka, Bu. Lihatlah masih banyak tentara asing berkeliaran di negeri ini, bahkan hingga kampung kita. Oleh karena itu, tenang saja Bu, sudah pasti saya akan membawakan menantu pada Ibu. Yang terbaik.”
“Terbaik buatmu belum tentu baik buat Apa dan Ibu, Nak. Justru Apa dan Ibu yang akan mengirimkanmu istri terbaik, bagaimana?”
Permana tetap tenang. Kalimat seperti itu sudah diduganya jauh-jauh hari.
Suasana berubah sepi. Ada tarikan napas lelah dari mulut bu mantri. Wajah di hadpaannya sekali lagi ditatapnya baik-baik, bahkan dengan senyuman. Menghadapi anak muda ini memang harus pakai taktik, bu mantri paham sekali. Permana punya keinginan yang kuat, meskipun dia selalu menurut dengan kata-kata orang tua. Tapi kalau soal prinsip, akan lain ceritanya. Apalagi urusan perempuan. Salah-salah cara, nanti berabe akibatnya.
“Permana...”
“Ya Bu...”
Bu mantri menahan sesaat, “Mmmh, begini... “
“Apa Bu?”
“Begini... beberapa waktu lalu, tepatnya minggu lalu... Apa dan ibu ke Soreang untuk menghadiri pertemuan Masyumi. Ibu singgah di salah satu teman apa di daerah Cibuntu. Rumah seorang kiyai di sana.”
Permana manggut-manggut. Tapi matanya tak berani menatap wajah ibunya. Hanya sesekali dia menangkap sorot lembut ibu mantri. Seakan mengalirkan aroma magis yang berusaha menarik aura positif Permana agar tertarik dengan kata-kata wanita luar biasa di hadapannya ini.
“Di sana, apa dan ibu terpesona oleh seorang gadis yang cantik dan baik. Gadis itu anak teman apa tersebut. Apa dan ibu sehati untuk memilihkan dia buatmu, Permana,” tatap bu mantri lembut, “Ibu harap kamu jangan menolak, dia sangat pas untukmu. Gadis yang beragama, jatmika, penuh susila. Itu akan menjamin kebahagiaan dalam hidupmu.”
Barulah Permana sadar. Kalimat-kalimat itu mengalir tanpa jeda, tanpa ragu, dan tak tersendat-sendat lagi seperti semula. Dan yang ini tidak diduganya.
“Jika kamu siap, Apa akan melamarkannya untukmu. Lebih cepat akan lebih baik buatmu. Dari pada membujang berlama-lama. Naluri ibu sangat yakin dengan gadis itu.”
Permana ingin meledak, tapi entah apa yang ingin diledakkannya. Di hadapannya adalah seorang perempuan tak tergantikan yang tak mungkin dikecewakannya. Tapi pembicaraannya mengenai ini... Permana adalah prajurit yang terbiasa dengan arena perang. Meskipun keadaan ini lebih berat, dia menarik napas panjang.
Suasana diam sesaat.
“Bagaimana Permana?”
“Bu, siapa tahu dia sudah punya pacar.”
Bu mantri menggeleng, “Dalam kehidupan keluarga kiyai tidak ada sebutan pacaran. Mereka gadis terjaga dan hanya siap dijodohkan.”
Permana menarik napas lelah. Tapi berusaha untuk tetap tenang.
“Oleh karena itu, Ibu minta, janganlah lagi kamu keluar rumah ini hanya untuk menonton pertunjukan sandiwara atau semacamnya itu. Ibu takut, ada hal yang kurang pantas buat keluarga ini. Permana, Jagalah kehormatan keluarga kita. Siapa pun dan bagaimanapun kehidupan mereka, tetap saja anggapan masyarakat menilai kurang bagus. Lalu, jika tiba-tiba kamu dekat dengan kegiatan seperti itu, mau di kemanakan wajah dan nama orang tuamu di sini?”
Permana terdiam. Kepalanya tertunduk.
“Ibu tidak bermaksud menghina mereka, hanya, ibu khawatir dengan anggapan orang. Bagaimana pun penilaianmu tentang pertunjukan itu, tetap saja di mata masyarakat, kita dipandang buruk jika menonton mereka.”
“Mohon maaf Ibu, masyarakat yang mana maksud Bu itu?”
“Permana, kita berbeda dengan masyarakat di luar sana. Pahamilah, jagalah nama baik apamu. Jika Permana menonton Euis Zuraida, atau siapalah Ibu tidak terlalu keberatan. Tapi kalau menonton pertunjukan sandiwara seperti Harmonie, nama kita akan menjadi kurang bagus. Ibu tidak bermaksud menjelekkan mereka. Tapi Ibu tahu, kelompok seni seperti itu tidak akan berbeda gaya hidupnya dengan kelompok-kelompok sejenis yang suka tampil di tempat ini. Mereka bebas, terkadang kurang bersusila, main kartu, dan maaf, mereka kurang terpelajar.”
Permana menelan ludah. Ada yang merambat perlahan di dadanya. Rasa pasan menyelinap. Seketika itu wajah Kinasih berkelebat di matanya. Senyum malu yang tak pernah lepas itu... Sopan santun yang dimiliki gadis itu, apa kalimat ibunya bisa jadi gambaran yang pantas bagi Kinasih yang mewakili Harmonie. Gadis yang begitu sopan dna terpelajarnya. Meskipun Permana belum tahu apakah Kinasih bersekolah atau tidak?
“Maaf Ibu, tapi sejauh yang Permana tahu. Harmonie sangat berbeda. Mereka terpelajar Bu, mereka mempelajari naskah, mereka tahu adat dan aturan... ”
“Ya sudah, itu penilaianmu tentang mereka. Tapi bagi orang lain tidak begitu. Sekarang, yang penting bagi Ibu adalah mengingatkanmu. Kamu sudah dewasa. Sudah mengetahui bagaimana caranya menjada kehormatan keluarga ini.”
Permana menekan rahangnya kuat-kuat. Tapi tetap berusaha menjaga sikapnya. Dadanya bergemuruh. Seiring wajah Kinasih yang terus melompat-lompat di matanya. Permana tidak tahu lagi mengatasi semuanya. Ternyata persoalan ini bahkan lebih berat dari pertempuran baginya.
“Namanya Siti Haerani,” bu mantri segera mengalihkan pembicaraan.
Permana menahan diri sekuatnya. Wajah agung di hadapannya membungkam mulutnya tanpa ampun. Bu mantri adalah segala Ibu baginya. Wanita penuh daya kasih sayang, tak sanggup Permana membantahnya. Ibunya adalah serupa istri Arjuna, Gandawati yang penyayang, pandai, dan penuh wibawa.
“Pikirkan itu baik-baik, demi Ibu dan Apamu, juga kamu sendiri.”
Barulah kini tangan Permana mengepal sempurna. Menonjok-nonjok pahanya. Sementara itu bu mantri sudah masuk kembali ke ruang dalam. Kinasih, desisnya dalam hati. Gemuruh dadanya semakin kuat. Apalagi yang harus dilakukannya. Menemui Kinasih di rumah pak Sukarsa bukan jalan terbaik. Gadis itu juga masih memperlihatkan sikap tertutup padanya. Permana Paham, mungkin sikap Kinasih karena dilandasi rasa malu atau rendah diri sebagai pemain panggung. Tapi Permana tidak pernah mempersoalkan itu. Panggung dan pertunjukan adalah bagian dari seni. Dan seni adalah bagian dari keindahan. Sementara itu keindahan adalah hal yang dicintai Gusti Allah. Apa yang salah dalam diri gadis itu?
Kembang ke-11
Cinta adalah persoalan hati. Sedangkan perang adalah persoalan kemanusiaan. Dua sisi yang dimiliki oleh setiap manusia normal yang lahir atas dasar fitrah. Sekuat apa pun manusia, sekejam apa pun seorang raja, pasti menginginkan hatinya damai oleh cinta. Seorang Mussolini damai hatinya di sisi kekasihnya, Claretta Petacci hingga mati. Pun demikian Hitler yang diktator tetap saja cintanya mati pada Eva Braun. Apalagi permana, yang baginya sekadar seorang manusia yang sescara kebetulan saja sempat memanggul senjata. Ketika seorang gadis mampu meluluhkan hatinya, baginya tak bisa menganti wajah itu dengan senyum manapun. Bukan karena kesetiaan, namun, bagi seorang prjurit, rasanya tak mungkin baginya berbagi hati. Mencinta bagian dari prinsip. Seperti halnya membela ibu pertiwi. Negeri tak bisa diserahkan pada bangsa ain, dan cinta tak bisa dibagi. Itulah prinsip.
Makin lama, kian dan kian, wajah Kinasih kian membenam dalam pikiran. Bukannya dia sudah diperbudak oleh perasaannya sendiri. Tapi Permana manusia normal. Dan cinta baginya cukup satu, seorang gadis yang tak bisa dikalahkan oleh apa pun. Seperti halnya ayelir yang tumbuh di pekarangan.
“Permana...”
Permana tersentak, pak Mantri duduk di hadapannya.
“Oh, saya tak melihat Apa datang...”
“Kamu yang terlalu serius dengan bacaanmu itu...”
“Apa makin sibuk sekarang...”
Pak mantri menarik napas panjang.
“Mau gimana lagi... Jepang sudah memanfaatkan semua kepala guru untuk propagandanya waktu itu. Setiap kokumin gakko harus menurut perintah mereka.”
“Sekarang Apa masih harus ikut organisasi juga?”
“MIAI yang ganti Masyumi waktu itu harus terus diurus, Permana. Ini masih suasana perang. Negeri ini belum sepenuhnya aman, kau tahu kan? Perang dengan senjata harus dibarengi dengan organisasi.”
“Saya pikir organisasi akan kembali hilang setelah Jepang pergi Pa... “
“Benar, organisasi memang bagian dari kegiatan yang mulai marak sejak zaman Jepang. Selain itu setelah kehadiran Jepang guru banyak dituntut untuk mempelajari sistem pendidikan yang diatur Jepang. Oleh karena itu Apa sering berangkat ke Bandung untuk pelatihan-pelatihan. Dari pendidikan di Bandung itu Apa tahu, ternyata indoktrinasi mental ideologi mengenai Hakko I-Chiu itu semata-mata untuk kemakmuran Asia Timur Raya, bukan untuk kemerdekaan bangsa ini.”
“Itu saja, Apa?”
Pak mantri menggeleng, “Bukan itu saja, kami wajib mempelajari kemiliteran dan semangat Jepang. Lalu mempelajari bahasa dan sejarah Jepang dengan adat-istiadatnya, olah raga, serta mempelajari ilmu bumi dari segi kepentingan politik. Oleh karena itu, para guru, seperti Apa dituntut untuk bisa mengajarkan lagu kebangsaan Jepang, setiap pagi mengibarkan bendera Jepang Hinomaru dan menghormat pada Kaisar Jepang. Setiap pagi murid-murid juga harus bersumpah setia pada cita-cita Indonesia dalam rangka Asia Raya (Dai Toa). Kemudian melakukan senam (taiso), latihan fisik dan militer.”
Permana mendengan kisah itu dengan seksama.
“Tidak hanya itu, para murid, pada waktu yang telah ditentukan membersihkan asrama militer, jalan, mananam pohon jarak, dan mengumpulkan bahan untk keperluan militer. Kegiatan tersebut berlangsung terus hingga Jepang pergi. Namun, setelah Jepang pergi, para guru masih terus melanjutkan kegiatan organisasi… itulah mengapa sampai hari ini Apa masih harus aktif di Masyumi.”
Ketika itulah muncul bu mantri dari dalam dengan wajah berseri. Permana kerap menikmati suasana ini sejak kecil. Lalu bu mantri menghidangkan satu bekong teh hijau. Itu yang membuat kesehatan pak mantri selalu prima.
Ada yang berbeda hari ini. Wajah pak mantri tampak serius. “Permana, ada berita apa lagi hari ini?”
“Ini Pa, masih tentang perundingan pelucutan senjata tentara Jepang.”
“Nah, apa itu berpengaruh pada nasib para perempuan itu?”
“Maksud Apa, apa?”
“Rukmini tidak pulang-pulang sejak diambil Jepang itu. Padahal kan Jepang sudah tidak menguasai kita lagi.”
“Rukmini Mamang Aceng, maksud Apa?”
“Iya, apa sudah curiga sejak mendengar macam-macam tentang para perempuan itu. Sekarang bi Aisah sakit keras. Tadi mang Aceng menemui Apa di Kesatriaan tapi tidak sempat ke sini. Cobalah kau bantu, Permana.”
“Besok saya juga sudah harus siap lagi, Pak. Menurut perintah, tanggal dua empat April ini akan dilakukan pengangkutan bekas tawanan perang dan interniran Sekutu ke Jakarta. TRI harus mengawal pengangkutan itu, nantinya mungkin juga pengangkutan tawanan tentara Jepang kepada Sekutu. Boleh jadi saya ditugaskan ke Jawa . Mudah-mudahan bisa melacak keberadaan Rukmini juga. Di mana pun tempatnya.”
“Kabarnya dulu Rukmini dikirim ke Shonanto.”
“Itu Singapura, Pa, jauh sekali.”
Pak mantri menarik napas lelah. Ketika itu muncul lagi bu mantri, “Ada apa, Pa? Serius sekali.”
“Rukmini Bu, sampai saat ini belum terlacak keberadaannya.”
“Lalu Nyi Aisah bagaimana?” wajah bu mantri mendadak serius.
“Sakit keras.”
Bu mantri terdiam. Merasakan gejala kehilangan yang dirasakan oleh Aisah, adik bungsunya. Membuatnya hanya diam mengkaku. Bahkan pembicaraan tentang Siti Haerani yang hendak dibahasnya juga hilang seketika.
Pikiran Permana mulai berkecamuk. Tentang Rukmini, adik misannya. Mungkin sebaya Kinasih. Tapi membayangkan wajah Rukmini sangat sulit. Selalu dan selalu wajah Kinasih yang muncul. Sedang apa dia sekarang? Itulah kalimat yang tersusun di pikirannya. Seharusnya dia menemuinya dulu untuk kepergiannya besok. Tapi alasan apa yang harus diungkapkan kepada orang tuanya, setelah ia tahu isi hati keduanya.
...